Pontianak (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Barat (Kalbar) akan mengaktifkan kembali Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk melayani Pekerja Migran Indonesia (PMI), guna mencegah pekerja migran ilegal dari wilayah Kalbar.
"Kami juga sudah merencanakan untuk mengaktifkan kembali LTSA, yang menurut hemat kami sangat penting dan strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan. Karena pelayanan terhadap PMI tentu tidak hanya diberikan oleh satu instansi," ujar Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar Hermanus, di Pontianak, Rabu.
Ia menjelaskan Pemprov Kalbar telah membentuk LTSA sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Kalbar Nomor 11 Tahun 2016. Namun karena beberapa faktor, LTSA ini belum dapat berfungsi dengan baik.
Hermanus menuturkan LTSA sangat penting dan strategis karena berfungsi untuk meningkatkan kualitas pelayanan, khususnya bagi pekerja migran.
Baca juga: Polisi gagalkan aksi penyelundupan 21 pekerja migran Indonesia
Pelayanan kepada PMI tidak hanya menjadi tanggung jawab satu instansi saja, kata dia, melainkan melibatkan berbagai instansi yang berkaitan dengan perizinan, kesejahteraan, pelatihan, dan perlindungan pekerja migran.
Pihaknya memerlukan dukungan semua pihak dalam menjalankan LTSA yang irancang tidak hanya melayani wilayah Pontianak, tetapi juga beberapa kabupaten di Kalbar, termasuk Kubu Raya, Ketapang, dan Kayong Utara.
Di tempat yang sama, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Acmadi, mengatakan, "Perlindungan pekerja migran Indonesia dan perlindungan terhadap saksi korban TPPO itu penting. Sekali lagi, hak-hak saksi korban itu dilindungi. Tata kelola dan manajemen pengawasan sangat penting," katanya.
Acmadi menerangkan perlindungan diutamakan karena PMI rentan terhadap eksploitasi atau tindakan kriminal, seperti perdagangan orang. Perlindungan ini mencakup hak-hak dasar yang harus dipenuhi, seperti hak untuk mendapatkan keadilan dan keamanan.
Baca juga: BP2MI ingatkan pekerja migran berangkat sesuai prosedur
Pada tahun 2002, kata dia, terdapat sekitar 150 kasus perlindungan, sementara pada 2023 jumlah tersebut meningkat menjadi 297 kasus. Hingga pertengahan September 2024 sudah ada 412 kasus yang ditangani.
"Perlindungan dari LPSK sejak tahun 2002 hingga 2024 mencatat angka yang terus meningkat. Pada 2002 terdapat sekitar 150 kasus, pada 2023 ada 297 kasus, dan hingga pertengahan September 2024 sudah ada 412 kasus," ujar Acmadi.
Meskipun data yang tercatat terus meningkat, kata dia, masih ada banyak kasus perlindungan saksi dan korban yang belum terungkap atau dilaporkan secara resmi.