Istanbul (ANTARA) - Muslim Rohingya, yang telah lama dianiaya oleh militer Myanmar, kini menghadapi ancaman baru dari kelompok bersenjata Tentara Arakan, kata salah satu pendiri Koalisi Rohingya Merdeka, Nay San Lwin.
“Terkait Rohingya, Tentara Arakan punya niat yang sama dengan militer Myanmar,” katanya.
Tentara Arakan (Arakan Army/AA), yang dibentuk pada 2009, adalah kelompok pemberontak etnis Buddha dari Negara Bagian Rakhine.
Kelompok itu menginginkan otonomi yang lebih besar dan terlibat dalam konflik bersenjata dengan militer Myanmar, terutama dari 2018 hingga 2020.
Lwin mengatakan sekitar 550.000 Muslim Rohingya tinggal di Rakhine dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Meskipun militer beroperasi di sana, wilayah-wilayah itu dikuasai oleh Tentara Arakan yang memerangi militer.
"Beberapa bulan terakhir, AA telah membunuh lebih dari 2.500 Muslim Rohingya dan memaksa 300.000 lainnya untuk mengungsi ke dua kota," kata Lwin.
Mereka yang masih tinggal di Arakan menghadapi "ancaman serius," kata dia.
Lwin menambahkan bahwa lebih dari 30.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena penganiayaan dan pembunuhan.
Dia meminta komunitas internasional membangun zona aman untuk melindungi penduduk yang rentan dari kekerasan yang meningkat.
Menurut dia, zona aman adalah satu-satunya solusi yang layak di tengah situasi saat ini.
Pada 2017, sekitar 700.000 Muslim Rohingya menyelamatkan diri dari kekerasan militer di Myanmar dan mencari perlindungan di Bangladesh, menurut PBB.
Mereka tinggal di tenda-tenda penampungan yang sesak di Cox's Bazar di tengah kelangkaan sumber daya dan masa depan yang tidak jelas.
Menurut Lwin, pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat kembali ke tempat asalnya selama AA menguasai wilayah mereka.
Dia mengatakan bahwa AA tampaknya melanjutkan apa yang pernah digambarkan oleh militer Myanmar pada 2018 sebagai "urusan yang belum selesai" dari Perang Dunia II.
Lwin mengkritik Dewan Keamanan PBB yang lebih mengutamakan bantuan kemanusiaan daripada menyelesaikan penyebab krisis Rohingya dan memperingatkan bahwa situasinya akan memburuk jika tidak ada tindakan.
Dia juga mengimbau negara-negara lain untuk mendukung kasus hukum internasional, termasuk tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
"Lebih dari 150 negara baru saja menandatangani konvensi genosida. Mereka semua bisa bergabung (dalam tuntutan itu) agar menjadi kasus besar, seperti yang telah mereka bicarakan soal akuntabilitas dan keadilan," katanya.
Jaksa ICC meminta surat perintah penangkapan untuk kepala junta Myanmar Min Aung Hlaing pada 27 November atas keterlibatannya dalam penganiayaan dan deportasi Muslim Rohingya pada 2017.
Permintaan itu menjadi yang pertama kali diajukan terhadap pejabat tinggi Myanmar terkait penganiayaan terhadap Muslim Rohingya.
Sumber: Anadolu