Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia semakin menyadari bahwa mengandalkan ekspor bahan mentah sebagai sumber utama pendapatan negara bukanlah strategi yang berkelanjutan. Pada 2023, data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sektor tambang menyumbang sebesar Rp300,3 triliun dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dengan sektor mineral dan batubara menyumbang 58% dari angka ini. Meski kontribusi ini signifikan, nilai tambahnya masih terbatas dibandingkan potensi yang bisa dihasilkan dari proses hilirisasi. Langkah untuk membangun smelter atau pabrik pengolahan bahan tambang di dalam negeri diharapkan dapat menciptakan dampak ekonomi berlipat ganda, mulai dari peningkatan daya saing produk Indonesia, penciptaan lapangan kerja, hingga pengurangan ketergantungan pada pasar global yang rentan fluktuasi harga.
Hilirisasi dalam konteks tambang adalah strategi meningkatkan nilai tambah bahan mentah melalui proses pengolahan dan pemurnian sebelum diekspor. Misalnya, nikel yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bijih mentah kini dapat diproses menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik atau produk logam lainnya yang siap dipakai industri. Langkah ini menambah nilai ekonomis bahan tambang dan menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif, menyatakan bahwa upaya hilirisasi sejalan dengan dorongan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan ekonomi nasional dan kemandirian industri. Pemerintah memfasilitasi hilirisasi ini melalui penguatan tata kelola dan peningkatan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengolahan bahan tambang di Indonesia. Irwandy juga menekankan pentingnya hilirisasi sebagai pilar dalam meningkatkan kontribusi sektor tambang terhadap ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Misalnya, pada PT Freeport Indonesia (PTFI) yang merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar yang beroperasi di Indonesia, khususnya di sektor emas dan tembaga di Papua. Sebagai bentuk komitmen pada kewajiban hilirisasi, PTFI kini tengah membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, yang akan menjadi fasilitas pengolahan tembaga terbesar di Indonesia. Pembangunan smelter ini tidak hanya bertujuan untuk mengolah bijih tembaga menjadi produk bernilai tambah, tetapi juga sebagai upaya perusahaan dalam memenuhi ketentuan pemerintah untuk mengolah sumber daya tambang di dalam negeri. Smelter ini diharapkan mampu menghasilkan copper cathode, produk olahan tembaga yang siap digunakan oleh industri dalam dan luar negeri.
Namun, PTFI sempat mengalami kendala teknis dan keterlambatan konstruksi yang mengakibatkan peningkatan biaya proyek. Namun, dengan dukungan pemerintah dan komitmen perusahaan, smelter ini tetap diupayakan untuk segera rampung, sejalan dengan target hilirisasi pemerintah. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak, PNBP dari sektor minerba, serta memperkuat nilai tambah sektor tambang Indonesia di pasar internasional.
Selain itu, ada juga PT Bumi Resources sebagai salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia, juga ikut serta dalam hilirisasi melalui proyek gasifikasi batu bara. Proyek ini bertujuan untuk mengubah batu bara menjadi produk gas yang bisa dimanfaatkan oleh industri dalam negeri, seperti industri pupuk dan bahan kimia. Namun, proyek gasifikasi batubara ini menghadapi tantangan besar, terutama dari segi investasi yang tinggi dan teknologi kompleks yang dibutuhkan. Selain itu, isu keberlanjutan terkait dampak lingkungan dari pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi fosil juga menjadi sorotan. Di tengah kritik terkait keberlanjutan ini, perusahaan berusaha menerapkan teknologi yang lebih ramah lingkungan, seperti metode gasifikasi bersih untuk mengurangi emisi karbon dan dampak negatif lainnya.
Dalam konteks hilirisasi, menurut Dosen Pengampu Manajemen Operasi Universitas Negeri Jakarta Dr. Andrian Haro, S.Si., MM bahwa manajemen rantai pasokan (supply chain management) berperan vital untuk menciptakan alur produksi yang efisien, mulai dari eksplorasi hingga pengolahan bahan mentah menjadi produk akhir. Manajemen rantai pasokan yang efektif mampu meningkatkan nilai tambah produk tambang secara signifikan, sekaligus mengurangi waktu produksi dan biaya operasional.
Andrian menambahkan bahwa kolaborasi antara pemerintah, perusahaan swasta, dan sektor teknologi diperlukan untuk menciptakan rantai pasokan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Kemitraan antara perusahaan tambang dan industri manufaktur memungkinkan pemanfaatan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, yang terus berkembang pesat di pasar global. Dengan mengintegrasikan teknologi digital seperti big data dan sensor dalam rantai pasokan, perusahaan tambang dapat mengoptimalkan proses produksi, meningkatkan kualitas produk, dan merespons perubahan permintaan pasar dengan lebih akurat.” Jelas Andrian.
Penerapan lean manufacturing atau produksi ramping juga menjadi pendekatan penting dalam industri tambang. Lean manufacturing berfokus pada pengurangan pemborosan dalam setiap tahapan produksi. Di sektor tambang, pemborosan bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti waktu tunggu, biaya transportasi, hingga ketidakefisienan operasional. Dengan menerapkan prinsip lean manufacturing, perusahaan tambang dapat menekan biaya produksi, meningkatkan efisiensi, dan menghasilkan produk berkualitas tinggi. Digitalisasi dan analisis big data memungkinkan perusahaan untuk melakukan monitoring kondisi tambang secara real-time, serta memperkirakan tren permintaan dengan lebih akurat.
Hilirisasi membuka peluang baru untuk menciptakan lapangan kerja, terutama di sektor pengolahan dan manufaktur yang memerlukan keahlian teknis. Proses hilirisasi meningkatkan nilai tambah produk tambang, seperti nikel yang dapat diolah menjadi komponen baterai kendaraan listrik atau perangkat elektronik. Ini tidak hanya memberikan nilai ekonomi lebih tinggi, tetapi juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada harga bahan mentah yang fluktuatif di pasar global.
Hilirisasi juga mendiversifikasi ekonomi nasional, memungkinkan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan menghemat devisa. Dalam jangka panjang, strategi ini memperkuat ketahanan ekonomi nasional dengan menciptakan produk yang lebih kompetitif dan mengurangi ketergantungan pada impor produk setengah jadi atau jadi dari luar negeri.
Namun, hilirisasi tidak bebas tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai, termasuk jaringan transportasi, fasilitas pengolahan, dan pasokan energi yang stabil. Di beberapa wilayah tambang, keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan dalam mencapai tujuan hilirisasi secara optimal.
Selain itu, investasi besar diperlukan untuk membangun fasilitas pengolahan dan teknologi pendukungnya. Tidak semua perusahaan tambang memiliki kapasitas finansial untuk berinvestasi dalam fasilitas ini. Karena itu, dukungan pemerintah dalam bentuk insentif pajak atau pembiayaan yang terjangkau sangat penting untuk mendorong perusahaan dalam mengembangkan hilirisasi.
Kompetensi sumber daya manusia (SDM) juga menjadi tantangan. Hilirisasi membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan menguasai teknologi pengolahan yang kompleks. Oleh karena itu, sinergi antara sektor industri dan lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan program pelatihan dan pendidikan sangat penting untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan siap menghadapi kebutuhan industri hilirisasi.
Hilirisasi yang berkelanjutan memerlukan penerapan konsep green mining atau tambang ramah lingkungan. Prinsip green mining mengedepankan teknologi yang ramah lingkungan dalam mengelola limbah, pemulihan lahan bekas tambang, dan pengurangan emisi karbon dalam proses pengolahan. Dengan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, industri tambang dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Salah satu alternatif yang sedang digencarkan adalah dengan investasi. Investasi menjadi pilar penting dalam mendorong hilirisasi. Pemerintah menyadari bahwa tidak semua perusahaan tambang memiliki kapasitas finansial untuk membangun fasilitas pengolahan yang diperlukan. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan peningkatan insentif bagi investasi di sektor hilirisasi. Ini termasuk pemberian kemudahan perizinan, insentif pajak, serta skema pembiayaan yang lebih terjangkau. Melalui upaya ini, diharapkan akan ada peningkatan minat investasi dari dalam dan luar negeri yang akan mempercepat realisasi proyek hilirisasi di Indonesia.
Sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan kompeten juga menjadi faktor kunci dalam menghadapi tantangan hilirisasi. Proses pengolahan bahan tambang memerlukan keahlian khusus dan pemahaman mendalam tentang teknologi terkini. Pemerintah menargetkan untuk mengembangkan program pelatihan dan pendidikan yang lebih baik, bekerja sama dengan universitas dan lembaga pendidikan teknik. Melalui peningkatan kemampuan SDM, pemerintah berharap dapat menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi tantangan industri dan mampu mengelola proses hilirisasi secara efektif.
Pemerintah masih memiliki banyak tugas untuk mengembangkan proyek hilirisasi pada industry tambah. Pemerintah perlu mengembangkan infrastruktur yang mendukung, memberikan insentif investasi, dan meningkatkan kualitas pendidikan serta pelatihan bagi tenaga kerja di sektor tambang. Selain itu, perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan harus menjadi bagian integral dari setiap langkah yang diambil, sehingga proses pengolahan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga ramah lingkungan.
________________________________________
Karya tulis ini dibuat dalam rangka lomba MediaMIND 2024 dengan kategori Reportease Mahasiswa yang digagas oleh MIND ID.
Penulis : Hery Irawan, S.S
Perguruan Tinggi : Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi - Universitas Negeri Jakarta
Narasumber : Dr. Andrian Haro, S.Si., M.M - Dosen Fakultas Ekonomi UNJ