Nikel adalah salah satu jenis logam yang dapat mengurangi emisi karbon karena dapat digunakan sebagai bahan baku (Critical Materials) pembuatan baja anti karat yang diperuntukkan untuk infrastruktur pembangkit listrik ramah lingkungan (surya atau angin) dan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, ujarnya.
Kebijakan Hilirisasi-pun gunting pita dan WALHI telah mencatat sejak tahun 2021 telah terbangun 25 Smelter dan 31 perusahaan lainnya dalam pengurusan perizinan yang sebagian besar berada di pulau Sulawesi dan Maluku. Salah satu perusahaan smelter yang terbangun tersebut adalah PT Bumi Mineral sulawesi (BMS) dan telah memulai produksinya. Perusahaan ini merupakan milik Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Perusahaan ini terletak di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencangkup Desa Karang-Karangan, Desa Toddopuli dan Desa Bukit Harapan yang saat ini dikenal dengan istilah Desa Lingkar Industri.
Desaku yang dulu Bukanlah yang Sekarang
Dahulu Desa Lingkar Industri merupakan daerah yang pada tahun 2014 menurut BPS berpenduduk 3.897 orang dan kini telah berjumlah 5.520 orang, sangat signifikan dibandingkan desa-desa lain di Kabupaten Luwu. Pertumbuhan penduduk ini, selain dipicu faktor kelahiran, faktor daya tarik perusahaan yang memberi harapan penyerapan tenaga kerja menyebabkan orang-orang berdatangan dan berharap dapat direkrut sebagai karyawan.
Mayoritas masyarakat lokal bekerja sebagai petani padi, pekebun cengkeh dan juga nelayan sehingga hamparan sawah dan kebun cengkeh bertebaran di sekitar wilayah smleter. Namun, hadirnya PT BMS turut mengubah landscape wilayah yang dulunya adalah perkebunan yang hijau disulap oleh pengusaha menjadi tanah kavling yang menurut mereka lebih menguntungkan. Selain itu, pengusaha kos-kosanpun juga bertumbuh seiring bertambahnya jumlah penduduk yang berdatangan.
Mempertanyakan Keberlanjutan Sosial Masyarakat sekitar PT BMS?
Keberlanjutan sering dimaknai sebagai sebuah upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi selanjutnya (WCED, 1987). Keberlanjutan mencangkup 3 aspek yaitu Ekonomi, Lingkungan dan Sosial (Triple bottom linne). Seiring perkembangan ilmu, aspek sosial merupakan salah satu aspek yang sangat jarang diteliti oleh akademisi (Dempsey et al., 2011; Hsel et al., 2019; Suopajrvi et al., 2016), sehingga artikel ini mencoba melihat keberlanjutan dari aspek sosial. Dalam seminar tersebut, Nanang Indira Kurniawan menambahkan bahwa:
keberlanjutan sosial dalam sebuah aktivitas ekstraktif dapat dilihat dengan memperhatikan siapa yang diuntungkan dan dirugikan, adanya keseimbangan yang baik dalam penciptaan kualitas sosial antara perusahaan dan masyarakat lokal adalah wujud keberlanjutan sosial tambahnya.
Oleh sebab itu mengutip teori Kualitas Sosial yang dikemukakan oleh Van Der Maesen & Walker (2005) dan Pieper et al. (2019) bahwa ada 4 (empat) dimensi yang dapat digunakan untuk melihat keberlanjutan sosial yaitu Jaminan Sosial (Social Security), Pemberdayaan Sosial (Social Empowerment), Inklusi Sosial (Social Inclusion) dan Kohesi (Social Cohesion).
Dimensi Jaminan Sosial
Ada dua indikator yang dapat dilihat untuk mengetahui dimensi ini (1) Kondisi kehidupan yang aman dan sehat bagi masyarakat lokal dan sejauh mana (2) kesehatan dan keselamatan bagi pekerja. Sebagaimana hasil penelitian lapangan penulis melalui wawancara bersama HRD PT BMS, sejauh ini pihak mereka selalu mengutamakan kondisi kehidupan yang aman dan sehat bagi masyarakat karena komitmen tersebut telah tertuang didalam dokumen ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) mereka. Namun, mereka sendiri mengakui bahwa kegiatan Comunity Development (Comdev) belum berjalan karena danya keterbatsan sumber daya tambahnya. Adanya aktivitas smelter meningkatkan intensitas kendaraan (khusus tambang) yang berbanding lurus dengan peningkatan polusi debu. Lihat saja akses jalan menuju pintu dua PT BMS yang melintasi perkampungan warga Desa Bukit Harapan, lalu lalangnya kendaraan karyawan dan kendaraan truk yang mengangkut material sangat meresahkan warga sekitar, karena kondisi jalan yang tidak di aspal membuat debu masuk ke rumah warga dan dihirup. Selain itu, meskipun PT BMS mengklaim bahwa smelter ramah lingkungan karena tidak menggunakan PLTU, namun dalam proses produksi tetap menggunakan batu bara. Di mana kedua hal tersebut dapat memicu debu PM 2.5 berterbangan dan akan mengganggu kesehatan serta keamanan masyarakat sekitar. Laporan CREA & CELIOS (2024) kematian yang disebabkan oleh polusi debu pertambangan wilayah Sulawesi dan Maluku ditahun 2020 sebanyak 215 orang dan diprediksikan akan bertambah menjadi 3.833 orang pada tahun 2025 apabila intervensi terhadap polusi debu tidak dilakukan.
Berbeda dengan kesehatan dan keamanan pekerja yang cukup diperhatikan oleh perusahaan. Di mana pekerja yang bertugas pada tapping nikel dibekali perlengkapan K3 berupa baju tahan api yang menurut HRD PT BMS bahwa
baju ini meskipun di Morowali (baca: IMIP) masih jarang yang menggunakannya atau bahkan tidak ada, seperti ini kami perhatikan para pekerja kami yang merupakan masyarakat lokal juga, ujarnya.
Dimensi Pemberdayaan Sosial
Dimensi ini melihat sejauh mana Akses Pekerjaan bagi masyarakat lokal sebagai wujud pemberdayaan masyarakat. Komitmen PT BMS untuk mengutamakan penyerapan tenaga lokal sebanyak 70%, berdasarkan data yang diperoleh dari total 1.448 karyawan PT BMS, 1.142 orang atau 78,87% merupakan pekerja yang berasal dari Kabupaten Luwu dan Kota Palopo (lokal). Namun sayangnya, penuturan salah satu kepala desa lingkar tambang bahwa katanya:
PT BMS sangat bagus, karena menyerahkan perekrutan tenaga kerja lokal sama kami-kami para kepala desa, ungkapnya.
Tetapi apabila memperhatikan teori rekrutmen yang dikemukakan oleh Hennekam et al. (2021) bahwa ketika sebuah organisasi mengalihdayakan perekrutan ke pihak eksternal maka akan meningkatkan potensi diskriminasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikeluhkan oleh salah satu Nelayan di Desa Karang-Karangan yang penulis wawancarai, bahwa:
selama ini anak saya sudah memasukkan berkas bahkan sudah beberapa kali kepada kepada kepala Desa, tetapi teman-temannya sudah diterima sedangkan dia belum, ujarnya dengan wajah yang kecewa.
Kekecewaan tersebut tentu menjadi tanda bahwa adanya indikasi diksriminasi terhadap proses tersebut.
Selain itu, hadirnya PT BMS dituntut untuk mampu menjaga mata pencaharian masyarakat lokal sebagai akses pekerjaan mereka. Potensi Pertanian padi, perkebunan cengkeh dan Nelayan Ikan Malaja sangat besar di lingkar tambang PT BMS. Namun, adanya polusi debu PM. 2.5 yang dapat mengancam kesehatan tanaman baik padi maupun cengkeh dengan indikasi kerusakan akar dan kuantitas hasil produksi. Kemudian adanya potensi tercemarnya slag nikel ke lautan dan merusak biota laut tentu menjadi sesuatu yang sudah harus dipersiapkan PT BMS untuk di hadapi. Namun sejauh ini belum ada langkah proaktif yang dilakukan, bahkan pengelolaan slag nikel yang seharusnya sudah terolah, sejauh ini masih dilakukan penampungan oleh pihak perusahaan dan belum diolah,
karena masih menunggu pihak laboratorium dan bagian lingkungan untuk mengeksekusi ujar HRD PT BMS.
Dimensi Inklusi Sosial
Inkulisfitas dalam konteks ini ditandai dengan pemenuhan hak asasi manusia bagi masyarakat, indikator Gaji yang Adil menjadi perhatian dalam dimensi ini. Dalam hal pemberian gaji PT BMS dinilai sangat baik dalam hal ini. Karena semua pekerja dari tingkat rendah hingga manjerial menerima gaji yang telah disesuaikan dengan UMP Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Rp. 3.434.298. Selain itu beberapa karyawan yang sempat diwawancarai memberi keterangan Cukup atas gaji dan upah yang mereka terima baik itu untuk hidup maupun menabung.
Dimensi Kohesi Sosial
Dimensi ini melihat sejauh mana PT BMS Mempromosikan Tanggungjawab Sosial dengan melihat keterbukaan akses informasi dan dialog sosial antar perusahaan dan masyarakat. Beradasarkan hasil penelusuran, meskipun belum ada wadah formal untuk mengkomunikasikan keluha. PT BMS mengandalkan koordinasi dengan kepala-kepala desa sebagai perwakilan masyarakat untuk menyampaikan keluhan masyarakatnya. Bahkan setiap Kepala Desa diberi honorarium koordinasi sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya.
Berdasarkan pembahasan setiap dimensi tersebut, keberlanjutan sosial pada kegiatan smelter PT BMS pada prinsipnya masih akan memberi ancaman keberlanjutan apabila tidak dilakukan beberapa upaya-upaya perbaikan. Meskipun aspek Kesehatan dan Keselamatan Pekerja, Gaji yang Adil, dan Mempromosikan Tanggungjawab Sosial telah dilakukan dengan baik oleh PT BMS. Aspek jaminan Kondisi yang aman dan sehat bagi masyarakat lokal dan menjaga pemberdayaan melalui Akses Pekerjaan yang layak tetap menjadi perhatian. Karena kedua aspek tersebut adalah hal yang paling mendasar untuk kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Menurut Menteri ESDM, Bahlil dalam sidang promosi desertasinya sebagaimana dilansir dalam kompas.id bahwa Hilirisasi Nikel Berdampak Buruk ke Masyarakat dan Tak Adil hal ini dikarenakan hilirisasi hanya menguntungkan sebagian pihak dan masyarakat yang seharusnya disejahterakan tidak merasakannya.
Data diatas menunjukkan bahwa, laju PDRB industri/pertambangan cenderung naik sedangkan laju berkurangnya penduduk miskin tidak signifikan dan cenderung jalan di tempat. Artinya, ditengah tumbuhnya sektor-sektor industri, belum bisa memberi manfaat kepada masyarakat secara luas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri ESDM bahwa ada indikasi ketidakadilan dalam program hilirisasi ini. Oleh sebab itu, dengan penguatan Lembaga yang direalisasikan dengan Pemberdayaan Masyarakat Lokal baik itu melalui kegiatan Comunity Development maupun Corporate Social Responsibility (CSR) diharapkan mampu menciptakan Kondisi yang aman dan sehat serta jaminan atas akses pekerjaan yang lebih baik bagi masyarakat lokal Desa Lingkar Industri dan menguntungkan untuk keberlanjutan hidup mereka.
________________________________________
Karya tulis ini dibuat dalam rangka lomba MediaMIND 2024 dengan kategori Reportease Mahasiswa yang digagas oleh MIND ID.
Penulis : Prima Agung Palupi
Perguruan Tinggi : Magister Administrasi Publik - FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) - Universitas Gadjah Mada
Narasumber : Dr. Nanang Indra Kurniawan, M.P.A - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada