Pontianak (ANTARA Kalbar) - Matahari mulai tinggi saat memasuki Kota Sambas, setelah menempuh perjalanan sekitar 225 km dari Pontianak.
Ibukota kabupaten perbatasan dengan Sarawak, Malaysia ini tampak ramai lalu lalang manusia dan kendaraan bermotor, serta terasa ada gairah pembangunan dengan berdirinya bangunan-bangunan kantor pemerintah dan swasta, serta ruko-ruko.
Kota Sambas merupakan salah satu kota tertua di Pulau Kalimantan yang mampu bertahan hingga kini.
Dari pusat kota, sekitar satu kilometer ke arah timur laut, saksi sejarah kota tua Sambas masih berdiri, yakni keraton Kesultanan Sambas yang bernama kesultanan Alwatzikhoebillah.
Kesultanan Sambas, menurut sejarawan, mulai berdiri sejak pemerintahan Sultan Muhammad Shafiuddin I (1631-1668).
Namun bangunan keraton yang berdiri menghadap Muara Ulakan (persimpangan tiga sungai, yakni Sungai sambas Kecil, Sungai Teberau dan Sungai Subah) didirikan mulai Sultan ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin I (Raden Bima) yang berkuasa tahun 1668-1708.
Sedang bangunan keraton yang ada kini berdiri merupakan pembangunan kembali pada zaman Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin yang memerintah Sambas pada tahun 1931-1944.
Seperti halnya keraton etnis Melayu lainnya, warna kuning emas sangat mendominasi warna bangunan istana, yang tegak dengan bahan kayu belian (kayu besi).
Warisan budaya ini terawat cukup baik, dan masih bisa bercerita tentang kejayaan daerah Sambas di jamannya.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke keraton, tidak dipungut bayaran. Wisatawan sebelum memasuki keraton utama yang menghadap ke barat itu akan memasuki gerbang segi delapan dengan hamparan halaman depan yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola.
Di tengahnya terdapat tiang bendera yang bentuknya menyerupai tiang pancang bendera di kapal besar. Di sekitar tiang terdapat tiga meriam canon yang siap menjaga tiang bendera, konon didapatkan dari pasukan Inggris.
Di sisi lapangan sebelah Utara terdapat masjid jamik keraton yang bangunannya juga kokoh dari kayu belian. Masjid agung bagi keraton Sambas itu asal mulanya kecil seperti mushola, namun pada tahun 1885 mulai dikembangkan menjadi masjid jamik (masjid agung).
Warna masjid juga didominasi kuning emas dengan beberapa bagian diselingi warna hijau. Namun untuk tempat berwudhu sudah berubah dari aslinya, karena bentuknya merupakan bentuk bangunan baru.
"Shalat di sini adem dengan sirkulasi udara yang cukup sejuk," kata Syarifah, salah satu pengunjung keraton.
Masjid paling ramai saat shalat Jumat dan di bulan Ramadhan, ungkap Sumaryati, pemandu pengunjung keraton dan salah satu cucu Sultan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin yang memerintah Sambas pada tahun 1931-1944.
(Z004)
Artikel - Wisata Sejarah Ke Keraton Sultan Sambas (1)
Selasa, 31 Juli 2012 12:03 WIB