Jakarta (Antara Kalbar) - Pengalaman bekerja paruh waktu dengan gaji yang menggiurkan, kesempatan berwisata lintas negara dengan biaya relatif murah, berkenalan dengan orang dari berbagai latar belakang budaya atau sekadar keluar masuk gedung bersejarah menjadi salah satu daya pikat "sampingan", yang menjadi alasan anak-anak muda khususnya ingin melanjutkan studi di luar negeri.
Beberapa alasan "sampingan" itu menjadi sangat penting artinya untuk menunjang semangat menjalani studi dengan latar belakang yang jauh berbeda dengan kondisi di Tanah Air. Pengalaman studi di luar negeri akan membukakan pintu dunia baru dengan segala kesempatan bagi perkembangan pribadi.
Apalagi mendekati tahun ajaran baru sejumlah kedutaan besar dan organisasi nonprofit hingga perusahaan konsultan pendidikan dari negara-negara pemberi beasiswa di Indonesia gencar memberikan "iming-iming" beasiswa yang dibarengi dengan promosi dan pameran pendidikan tawaran melanjutkan studi di negara mereka dengan memboyong perwakilan universitas.
Tentu saja tawaran beasiswa menjadi daya pikat tersendiri bagi calon mahasiswa dan orang tua di Tanah Air yang menginginkan anak-anaknya melanjutkan studi di luar negeri. Andai pun tidak lolos meraih beasiswa yang biasanya jumlahnya terbatas, pendampingan yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut sangat membantu mengurangi kekhawatiran calon mahasiswa dan orang tua melepaskan anaknya tinggal jauh dari Tanah Air.
Umumnya lembaga nonprofit maupun konsultan pendidikan akan memberikan pelayanan standar, yakni membimbing calon mulai dari tahap pendaftaran, pengurusan dokumen, seperti visa, izin tinggal, evaluasi diploma dan juga dukungan dari negara yang bersangkutan, mencarikan asrama atau orang asuh.
Sistem jemput bola melalui penyelenggaraan pameran pendidikan yang dilakukan kedutaan dengan memboyong sejumlah perwakilan pendidikan tinggi dari negaranya akan meringankan calon mahasiswa untuk mengambil keputusan salah satu pilihan studi lanjutan tanpa harus "start" dari nol mendatangi negara tersebut untuk mengikuti tes di sejumlah universitas.
Meski demikian, sejumlah perusahaan konsultan pendidikan yang telah memiliki reputasi baik menjamin bagi calon mahasiswa yang masih mencari pilihan pendidikan lanjutan di luar negeri akan mendapat pendampingan dari perusahaan dari A to Z, hingga diterima di salah satu universitas di negara tersebut dengan pendampingan lebih kurang satu tahun.
Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia David Taylor secara khusus menawarkan 50 beasiswa pascasarjana setiap tahun di delapan universitas negeri di negara itu. "Selain beasiswa pascasarjana kami juga memiliki puluhan universitas, politeknik dan institusi pendidikan lain yang memiliki beragam mahasiswa dari Asia sehingga pelajar Indonesia akan merasa seperti di rumah sendiri."
"Pesan kami sangatlah sederhana: Selandia baru menawarkan fasilitas pendidikan pendidikan bertaraf internasional dengan biaya yang wajar, kualifikasi berkualitas tinggi dan dapat ditransfer, serta dalam di dalam lingkungan yang aman dan bersahabat," ungkap Taylor.
Beberapa universitas negeri Selandia Baru, antara lain, University of Auckland, University of Waikato, Victoria University of Wellington, dan Massey University.
Sementara itu, Direktur Nuffic Neso Indonesia Mervin Bakker mengatakan bahwa StuNed merupakan program beasiswa bilateral pemerintah Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Sejak diluncurkan pada tahun 2000, StuNed membiayai 200 - 250 mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi di Belanda. Program beasiswa StuNed diberikan untuk jenjang master (S-2), kursus singkat (short course) maupun pelatihan khusus (tailor-made training).
StuNed merupakan program beasiswa bilateral pemerintah Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak diluncurkan pada tahun 2000, StuNed membiayai 200 - 250 mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi di Belanda.
Rizka pemuda asal Makassar studi di Groningen Belanda mengambil Program Research Master in Educational Effectiveness and Instructional Design di Rijkuniversiteit Groningen pada tahun 2008-2009.
Ia mengisahkan pengalaman studi di Belanda. Menurut dia, sangat "unforgettable".
"Studi dan hidup di Belanda mengajarkan saya bagaimana hidup disiplin terhadap waktu, memelihara lingkungan, bersosialisasi dengan pemuda-pemuda internasional, dan salah satu tak bisa saya lupakan adalah bahwa negara inilah yang mengajarkan saya bagaimana hidup dengan kesederhanaan," ujar Rizka.
Bagi Agatia Wenan Tyawati penerima beasiswa di Wageningen Universiteit and Research Center pada program master Leisure, Tourism, and Environment pada tahun 2002--2004 menyatakan, "Berjejaring internasional itu sangat menarik dan perlu untuk masa depan."
Rizka dan Agatia adalah alumni penerima salah satu jenis beasiswa yang ditawarkan Nuffic neso Indonesia, sebuah lembaga nonprofit kepanjangan tangan dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang berkiprah untuk menyalurkan beasiswa studi lanjutan program sarjana, doktor, penelitian, dan sebagainya.
Kuliah di Jerman
Salah satu negara yang menawarkan pendidikan berkualitas tetapi berbiaya relatif rendah adalah Jerman. Bahkan, jika dihitung-hitung, biaya kuliah di Jerman bisa lebih murah ketimbang kuliah di Tanah Air.
"Karena hampir sebagian besar perguruan tinggi di Jerman itu gratis. Mahasiswa asing hanya menanggung biaya untuk hidup dan asrama sekitar Rp6 juta--Rp7 juta per bulan," kata Annie Theodora, pendiri sekaligus Direktur Go Deutschland, sebuah lembaga konsultasi pendidikan Jerman.
Annie menjelaskan bahwa persyaratan utama untuk bisa kuliah di Jerman, selain pintar harus memiliki kemampuan berbahasa Jerman. Saat pengajuan visa, calon mahasiswa harus menjalani tes kemampuan berbahasa Jerman. Kemampuan berbahasa itu sangat penting karena proses belajar-mengajar di jenjang S-1 dilakukan dalam bahasa Jerman.
"Jika belum pernah belajar bahasa Jerman, Go Deutschland menawarkan fasilitas les privat yang dikebut selama dua bulan menjelang keberangkatan. Pokoknya, sampai bisa bicara bahasa Jerman dasar," ujar perempuan yang menikah dengan pria Jerman ini menegaskan.
Setelah lolos tes bahasa dan urusan visa selesai, menurut Annie, calon mahasiswa harus ikut kelas bahasa Jerman tingkat lanjutan hingga menjelang waktu kuliah pada bulan September--Agustus.
Les bahasa Jerman yang ditawarkan Go Deutschland berbeda dengan lembaga konsultasi pendidikan lain. Pihaknya berkoneksi dengan perguruan tinggi sehingga calon mahasiswa tidak hanya mahir berbahasa, tetapi juga paham istilah-istilah bahasa Jerman untuk program studinya.
"Jadi, satu kali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui," kata Annie berperibahasa.
Selain belajar bahasa, menurut Annie, calon mahasiswa yang ditangani Go Deutschland juga belajar persiapan dasar tes masuk perguruan tinggi. Calon mahasiswa diajari bagaimana menjawab tes-tes agar bisa lolos seleksi.
Setelah dinyatakan lolos oleh perguruan tinggi bersangkutan, menurut Annie, mereka langsung menjadi studien college dan tinggal di asrama masing-masing. Selama studien college atau pra-universitas, mahasiswa tidak dipungut bayaran.
"Mereka ikut studien college selama satu tahun secara gratis. Setelah itu, siap-siap untuk tes universitas yang sesungguhnya. Biayanya pun tak mahal, rata-rata perguruan tinggi di Jerman memungut biaya kuliah sekitar 500 euro per semester," ujarnya.
Terkait dengan perguruan tinggi papan atas di Jerman, Annie mengatakan bahwa semua perguruan tinggi memiliki kualitas yang setara.
Ada sekitar 370 perguruan tinggi di Jerman. Namun, Annie menyarankan calon mahasiswanya untuk memilih perguruan tinggi di Munich atau Muenchen, yang suasananya sangat kondusif untuk belajar, ketimbang di kota besar seperti Berlin.
"Biaya hidup di Munich atau Muenchen memang 1--2 euro lebih mahal dibanding Berlin. Akan tetapi, suasananya yang tenang dan aman lebih bagus buat anak-anak belajar ketimbang di Berlin yang suasananya sangat metropolitan," ujarnya.
Soal biaya hidup, menurut Annie, tergantung pada gaya hidup. Namun, dengan dana sebesar Rp7 juta per bulan bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bayar asrama. Jika ingin menambah uang saku, pemerintah Jerman memberi keleluasaan bagi mahasiswa untuk kerja paruh waktu.
"Kalau anak mau prihatin, mereka bisa kok kuliah sambil kerja paruh waktu. Karena, pemerintah Jerman memberi waktu 20 jam per minggu bagi para mahasiswa untuk bekerja sampingan seperti jaga toko, baby sitter, atau cuci piring di restoran. Lumayan untuk menambah biaya hidup sehari-hari," katanya.
Menyinggung soal biaya jika menyerahkan segala urusan ke Go Deutschland, Annie menyebutkan biaya sekitar Rp120 juta. Jumlah itu 2,5 kali lebih murah ketimbang diurus lembaga konsultasi pendidikan Jerman sejenis.
"Kami urus keperluan calon mahasiswa, bukan hanya mengantarkan sampai di Jerman, lalu selesai urusan seperti dilakukan lembaga konsultasi lain. Kami kawal terus sampai siswa benar-benar dapat kursi dan asrama di studein college," ucapnya.
Dengan uang sebesar itu, Annie menegaskan bahwa benar-benar digunakan untuk keperluan calon mahasiswa mulai dari les bahasa di Indonesia dan di Jerman, tes minat dan bakat, penginapan sebelum mendapat asrama, tes bahasa, dan ijazah untuk urusan visa, tiket pesawat sekali berangkat dan berbagai dokumen lagi.
"Calon mahasiswa tinggal 'duduk manis' dan konsentrasi belajar. Semua urusan ditangani Go Deutschland," ujarnya.
Setelah lulus kuliah, menurut Annie, mahasiswa diberi kesempatan untuk bekerja selama satu tahun di Jerman guna mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Setelah itu, mereka diminta untuk pulang dan mengabdi di negaranya masing-masing karena visa tidak bisa diperpanjang lagi.
Studi di Luar Negeri, Pilih Beasiswa atau Mandiri ?
Minggu, 10 Maret 2013 22:33 WIB
Kalau anak mau prihatin, mereka bisa kok kuliah sambil kerja paruh waktu.