Jakarta (Antara Kalbar) - Jika sebatang pohon saja memiliki cerita sejarahnya sendiri, maka hutan memiliki nilai filosofis yang lebih tinggi yakni sebagai paru-paru dunia.
Namun, paru-paru itu bisa saja rusak jika pemeliharaannya tidak lebih baik ketimbang upaya yang membahayakannya.
Boleh jadi itu yang kini menjadi potret nyata hutan di Indonesia ketika nilai filosofisnya terus mengalami penurunan.
Pengelolaan hutan Indonesia selama ini kurang memperhatikan hakekat yang terkandung pada filosofinya sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu akibatnya hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam.
Salah satu yang kini sedang terjadi di antaranya ancaman kerusakan hutan di Pulau Sumatra yang terus meningkat karena adanya pembangunan ruas jalan di berbagai provinsi.
"Kawasan hutan di Sumatra, seperti Riau, Jambi, dan Aceh terus mendapat tekanan dan ancaman akibat pembangunan ruas jalan," kata peneliti di Universitas James Cook, Cairns, Australia Profesor William Laurence.
Sementara di wilayah lain akibat adanya Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) serta terjadinya penebangan liar baik kayu, areal hutan di sejumlah wilayah di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) semakin memprihatinkan.
Fakta yang lebih memprihatinkan tatkala Pemerintah Sulawesi Tengah mengklaim areal hutan kritis di daerah itu hingga kini mencapai 600 ribu hektare dari total luas kawasan hutan yang ada sekarang ini mencapai 4,3 juta hektare.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng Nahardi mengatakan kawasan hutan di daerahnya setiap tahun masih mengalami deforestasi dan degradasi.
"Hutan kritis seluas itu tersebar di 10 kabupaten dan kota di Provinsi Sulteng dan terbesar terdapat di Kabupaten Donggala yang mencapai 147.504 hektare, disusul Kabupaten Poso 118.893 hektare, dan Kabupaten Parigi Moutong 99.997 hektare," katanya.
Di sisi lain, Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit tentang hutan primer atau asli di Taman Nasional Kutai, yang berada di wilayah tiga kabupaten/kota di Kalimantan Timur, kini hanya tersisa 25 persen dari luasan kawasan itu yang mencapai 198.629 hektar.
"Berdasarkan peta tutupan lahan Taman nasional Kutai luasan hutan primer sejumlah 8.860 hektar sedangkan hutan sekunder sejumlah 137.802 hektar," ungkap Kepala Balai TNK, Erli Sukrismanto.
Selain akibat kebakaran yang menghanguskan sekitar 75 persen kawasan TNK pada 1997-1998, perambahan dan pencurian kayu menjadi penyebab terdegradasinya atau menurunnya kualitas hutan tropis rendah itu.
Provinsi Bangka Belitung menyimpan cerita lain, ketika hutannya yang seluas 565.047 hektare belum jelas peruntukannya hingga kini.
Seluas 16.869 hektare hutan lindung di Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Bangka Belitung (Babel), kritis karena penambangan bijih timah ilegal dan ladang berpindah-pindah.
"Penambangan bijih timah yang dilakukan warga dan perusahaan swasta sebagai pemicu utama rusaknya hutan lindung," ujar Kabid Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bangka Selatan, Evan Sandy Maulana.
Ia menjelaskan, dari total hutan lindung kritis tersebut dengan rincian 5.984 hektare hutan sangat kritis dan 10.885 hektare hutan kritis.
Menelan Kerugian
Pengelolaan hutan yang kurang ramah pada akhirnya membawa dampak berat berupa kerugian yang pahit.
Selain fakta bahwa Indonesia pada akhirnya merebut rekor dunia kebakaran hutan mengalahkan Brazil di mana pada 1963 Indonesia mengalami kebakaran hutan seluas 2 juta ha, berlanjut pada 1982-1983 seluas 3,5 juta ha, dan pada 1997-1998 seluas 11,7 juta Ha.
Sebagai dampaknya, polusi yang mengakibatkan pemanasan global karena kebakaran hutan di Indonesia pun tidak main-main dengan kurang lebih 1,7 juta karbon terlepas ke atmosfir, setara dengan 26 persen total emisi karbon dunia yang dihasilkan bahan bakar fosil pertahunnya.
Padahal hutan merupakan kunci mendasar dan utama untuk penyelamatan udara dan air sebagai sumber kehidupan manusia.
"Kerusakan hutan sama artinya dengan kerusakan air hingga menimbulkan bencana yang tentunya sangat merugikan manusia," kata pakar lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri juga menjabat sebagai Direktur Rona Lingkungan Hidup Universitas Riau itu.
Penderitaan dan kerugian yang dirasakan berulang-ulang setiap tahun akibat kerusakan hutan disadari jelas bukan sesuatu yang ringan.
Dari keadaan ini, semua pihak sudah saatnya terlibat dalam program pembenahan lingkungan hutan berupa tindakan nyata sebagai upaya penanggulangan bencana dan kerugian masyarakat.
Masyarakat sekitar hutan juga perlu mendapatkan pembinaan untuk mencapai kesadaran mengenai pentingnya memelihara lingkungan hidup yang hijau, bersih, dan indah.
Memberdayakan Masyarakat
Hutan yang hijau adalah mimpi Indonesia yang lebih baik. Oleh karena itu seluruh pemangku kepentingan tidak kemudian diam saja mengejar harapan mulia itu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah misalnya memberdayakan masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan untuk memfokuskan pada perbaikan tata kelola kawasan hutan melalu penguatan kelembagaan Kesatuan Pengolahan Hutan (KPH).
"Keberadaan lembaga KPH sangat penting karena dianggap bisa mengidentifikasi secara detail kondisi masyarakat di sekitar hutan," kata Kepala Dinas Kehutanan Sulteng Nahardi.
Program kehutanan yang berbasis masyarakat antara lain program hutan tanaman rakyat (HTR) yang akan memberikan akses pengelolaan hutan kepada masyarakat, bukan kepada pengusaha.
Masyarakat diberi akses mengelola hutan dengan menanam pohon yang bernilai ekonomi tinggi. Misalnya, masyarakat diajak menanam tanaman karet, dimana dalam waktu beberapa tahun sudah menyadap.
Program lainnya melalui skema hutan desa dan hutan kemasyarakatan. Skema hutan desa di Sulteng telah dilakukan sejak 2011 berlokasi di Desa Namo, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi seluas 490 hektar yang telah ditetapkan pada tahun 2011 oleh Menteri Kehutanan.
"Keberadaan hutan desa dan hutan kemasyarakatan sebetulnya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat selain meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal," katanya.
Pada kesempatan yang sama, demi hutan Indonesia yang lebih baik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten berupaya mengoptimalkan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) dalam upaya penyelamatan kawasan hutan melalui rehabilitasi dan konservasi.
"Lahan kritis di Banten saat ini sedikit berkurang dari sebelumnya sekitar 117 ribu hektare, berkurang menjadi 104 ribu hektare lagi. Upaya yang kami lakukan diantaranya mengoptimalkan program Kebun Bibit Rakyat atau KBR," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Muhammad Yanuar.
Ia mengatakan, kebun bibit rakyat tersebut diharapkan bisa mengurangi lahan kritis di Banten yang saat ini masih tersisa sekitar 104 ribu hektare, sebagian besar berada di kawasan hutan milik masyarakat dan sisanya berada di dalam kawasan hutan.
Selain mengembangkan KBR, upaya lain yang dilakukan melalui pengembangan hutan rakyat, kampung konservasi serta program-program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan kawasan hutan.
"Kita perlu terus peduli terhadap penyelamatan hutan, karena kawasan hutan semakin berkurang," kata Muhamad Yanuar.
Berbagai program penyelamatan hutan itu penting di tengah kerinduan akan hijaunya paru-paru dunia di Indonesia sebagai penyangga napas dunia di sepanjang sabuk khatulistiwa.
Artikel - Menatap Potret Hutan Indonesia
Sabtu, 23 Maret 2013 13:46 WIB