Jakarta (Antara Kalbar) - Keluarga korban kasus penyerangan Lembaga Pemasyrakatan Kelas II B Cebongan memaparkan hasil pertemuan mereka dengan beberapa institusi negara terkait permohonan untuk mengungkap kasus tersebut dan keadilan bagi semua pihak.
"Selama satu minggu kami datang mengunjungi beberapa institusi negara karena ingin menekan dan menagih pertanggung jawaban negara atas kasus ini," kata Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM Kontras, Yati Andriyani, di Jakarta, Jumat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) adalah sebagai pihak yang mendampingi dan menjadi fasilitator antara keluarga korban penyerangan dengan berbagai institusi negara.
Adapun hasil pertemuan tersebut diantaranya menyatakan bahwa segenap institusi atau lembaga menyatakan komitmen mereka untuk mendorong dan mengawal pengungkapan kasus Cebongan secara tuntas, menyeluruh, transparan, dan adil untuk semua pihak yang menjadi korban termasuk istri Heru Santoso, delapan sipir LP Cebongan.
Dalam hal ini, Wamenkumham Denny Indrayana menyatakan bahwa institusi negara seperti Lapas Cebongan, dan Kementerian Hukum dan Ham termasuk menjadi korban atas tindakan penyerangan dan penembakan tersebut.
Selanjutnya, hasil pertemuan juga menyatakan bahwa usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), menurut Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Wamenkumham masih akan dipelajari dan dilihat sesuai dengan perkembangan proses penanganan yang berjalan.
Terkait dengan TGPF, pihak Kontras dan keluarga korban meminta DPR RI melalui Komisi III dan Komisi I untuk melakukan pengawasan secara aktif dan kritis terhadap kinerja dan langkah Komnas HAM, Kepolisian, dan TNI dalam penanganan masalah tersebut.
"Jika diperlukan dapat dibentuk panitia khusus (Pansus) untuk mengawasi konflik kepentingan dalam internal TNI dan Polri, ini sekaligus bisa menjadi ide untuk adanya arahan menuju ke pengadilan umum selain militer," kata perwakilan keluarga korban Johanes Juan Manbait, Victor Manbait.
Selain itu, berdasarkan pertemuan tersebut, Wantimpres, Wamenkumham, dan Komnas HAM menyatakan bahwa stigmatisasi dan labelisasi premanisme harus dihindari agar tidak mengaburkan dan mengalihkan dan memberikan impunitas terhadap tindakan melawan hukum yang terjadi di LP Cebongan.
"Ini semua karena kami memandang pertanggung jawaban TNI belum cukup karena itu hanya mekanisme TNI dan kami khawatirkan adanya interfensi kepentingan pihak-pihak terkait," ungkap Yati.
Yati juga menyatakan bahwa hasil investigasi berdasarkan pengakuan para pelaku saja masih belum cukup.
"Ketika semua orang puas pada investigasi TNI dan keluarga korban tidak mengerti, maka muncul labelisasi dan stigma-stigma. Ini akan mengancam kesatuan dan persatuan kita," imbuh Yati.
(E.S. Syafei)