Desa Temajuk, satu dari delapan desa di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sebelumnya adalah daerah yang sangat terisolir.
Kalau melihat di peta, letaknya berada di "ekor" Pulau Kalimantan. Secara kewilayahan, berbatasan langsung dengan Kampung Teluk Melano, Sarawak, Malaysia Timur.
Pada awal tahun 2011, membayangkan kendaraan roda empat ada di desa itu, seperti sesuatu hil yang mustahal (mengutip almarhum pelawak Asmuni).
Untuk mencapai desa tersebut, hanya ada dua pilihan yakni melewati jalur laut atau menyusuri Pantai Paloh yang terkenal dengan ombak Laut Cina Selatan dan sebagai tempat terpanjang peneluran penyu di Indonesia.
Penulis merasakan sendiri betapa berat dan sulitnya untuk menjangkau desa tersebut pada awal 2011.
Saat menyusuri pantai, harus berpacu dengan waktu. Saat terbaik adalah ketika air laut tengah surut. Pada masa itu, pantai tidak tertutup air dan pasir di pantai membuatnya seolah menjadi jalanan yang keras, meski kadang-kadang ada yang gembur.
Waktu tempuh setidaknya empat jam sampai enam jam dari ibu kota Kecamatan Paloh. Jaraknya berkisar 60 kilometer. Belum lagi kalau kendaraan rusak, waktu tempuh menjadi lebih panjang. Tak mengherankan, jarang ada yang berani sendirian mengendarai motor dari Temajuk atau sebaliknya.
"Minimal harus ada teman di perjalanan," kata Hatta (52 tahun) warga Desa Temajuk.
Kini, masyarakat dapat lebih mudah menuju Desa Temajuk sejak dimulainya pembangunan jalan dari penyeberangan Ceremai. Melihat kendaraan roda empat di Temajuk pun kini tak lagi mustahil.
Sejak 2011
Hatta merasakan pembangunan yang semakin pesat sejak tahun 2011, ketika terjadi kegaduhan politik dan pertahanan keamanan seiring mencuatnya kasus Camar Bulan dimana terdapat 1.449 hektare wilayah Camar Bulan yang masuk Sarawak.
Saat itu, Gubernur Kalbar Cornelis menyatakan, sebenarnya pihak Malaysia tidak mencaplok kawasan Camar Bulan, namun wilayah seluas 1.499 hektare yang kini masuk Sarawak, Malaysia, diserahkan oleh tim batas Indonesia sewaktu berunding tahun 1976 dan 1978 ke negara jiran tersebut.
"Mereka (Malaysia) diberi oleh tim batas Indonesia yang berunding waktu itu. Itu karena mereka tidak teliti asal usul kita (Kalbar)," kata Cornelis menegaskan.
Pemerintah pusat pun seolah "kebakaran" jenggot. Nama Temajuk langsung mencuat. Pejabat setingkat menteri, dirjen, baik sipil maupun militer, anggota DPR, beramai-ramai datang silih berganti. Meski sebagian besar tidak merasakan sulitnya menuju Temajuk karena menggunakan jalur udara.
Berbagai proyek pun disiapkan dan dikucurkan dengan jumlah yang "wah".
Kini, menuju Temajuk dapat menggunakan roda empat ke atas. Dimulai dari Desa Sebubus, jalan yang tidak terlalu lebar, dan sebagian kecil tengah dibeton, menuju penyeberangan Ceremai yang membelah Sungai Paloh.
Mobil yang menyeberang dapat menggunakan kapal kayu dengan biaya Rp100ribu. Sedangkan motor dengan perahu yang lebih kecil, biayanya Rp10 ribu.
Pengelolaan penyeberangan dilakukan berdasarkan musyawarah dan gotong royong. Setiap penghasilan dari perahu atau kapal yang membawa penumpang, khusus sepeda motor, dikumpulkan bersama dan dibagi rata setiap hari.
Selepas dari Ceremai, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar, sekitar tiga meter lebih. Mulai dari beraspal, separuh beraspal, sedikit berbatu, hingga tanah merah serta berpasir.
Waktu tempuh yang dulunya empat jam hingga 6 jam, kini dengan menggunakan kendaraan roda empat berpenggerak ganda, dapat tembus di angka satu jam. Suatu kemajuan yang luar biasa tentunya.
Proyek Sia-sia?
Banyak perubahan di desa yang hidupnya dulu sangat tergantung dengan alam itu.
Proyek pembangunan pun tersebar di mana-mana. Jalan desa, drainase, serta sarana pendukung lainnya.
"Sejak tahun 2011 ada perubahan, jalan sudah mulai terbuka, pemerintah mulai memperhatikan," kata Asman, Sekretaris Desa Temajuk.
Lokal sekolah ditambah, perumahan bagi TNI, PNS serta rumah toko.
Namun, ujarnya, proyek pembangunan yang tersebar itu seolah tak bermanfaat maksimal bagi warga. Selain itu, warga terkesan hanya dianggap pasrah menerima.
Ia mencontohkan pembangunan menara telekomunikasi. Kabarnya, dibangun Kementerian Komunikasi dan Informasi RI. "Tapi hanya aktif 6 bulan. Sekarang, kalau ada pejabat, baru aktif," katanya.
Kemudian, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang hanya beroperasi satu bulan saja. Lalu, Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang sudah selesai sejak bulan Agustus namun belum pernah operasional. "Warga diminta menyiapkan Rp2 juta per pintu," kata dia. PLTS itu sendiri nilainya dikabarkan mencapai Rp47 miliar.
Ia mencatat, untuk tahun 2013, setidaknya nilai proyek dari pemerintah di desa tersebut mencapai Rp28 miliar.
Diantaranya drainase sepanjang 4 kilometer senilai Rp2 miliar, jalan dalam desa Rp1,8 miliar, jembatan Rp2,8 miliar, pengaspalan jalan Rp1 miliar, pembangunan tugu desa Rp800 juta, dermaga Rp2,3 miliar, dan jalan permukiman Rp10 miliar.
Menilik nilainya, yang miliaran rupiah, tentu luar biasa bagi satu desa. Namun Asman menilai ada yang perlu dikritisi. Ia mencontohkan pembangunan jalan desa, yang sangat sempit. "Sudahlah sempit, ditambah trotoar di kiri kanan jalan, bagaimana kalau ada kendaraan yang berpapasan," ujarnya.
Jalan yang dibangun menggunakan beton. Namun ia ragu apakah jalan tersebut bakal bertahan lama karena lapisan betonnya yang tidak terlalu tebal.
Ia hanya berharap, pemerintah serius membangun Temajuk dan tidak sekedar menjadikan desa tersebut sebagai bahan pengajuan proposal belaka untuk mendapatkan anggaran.
Kisah pahit warga yang puluhan tahun sangat tergantung dengan alam itu, pun sepatutnya berakhir menjadi kisah yang manis.