Jakarta (Antara Kalbar) - Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar membantah semua dakwaan diajukan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu mengenai dugaan penerimaan suap dan janji terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan tindak pidana pencucian uang.
Dalam dakwaan tindak pidana korupsi, Akil diduga mendapatkan hadiah berupa uang yang terkait dengan permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kabupaten Lebak (Rp1 miliar), Kabupaten Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS), Kota Palembang (Rp19,9 miliar), Kabupaten Lampung Selatan (Rp500 juta), Kabupaten Buton (Rp1 miliar), Pilkada Kabupaten Pulau Morotai (Rp2,99 miliar), Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar) dan janji akan mendapat Rp10 miliar dari sengketa Pilkada Provinsi Jawa Timur.
"Berkaitan dengan Pilkada Gunung Mas, saya tidak menerima uang, saat dilakukan penangkapan, saya tidak berada di tempat, saya masih berada di rumah," kata Akil dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara sengketa Pilkada Gunung Mas, pemberian uang Rp3 miliar untuk Akil berasal dari bupati terpilih Hambit Bintih melalui anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa pada 2 Oktober 2013.
"Betul Chairun Nisa ada datang ke rumah jabatan saya, tapi saya tidak minta dia datang, dia juga tidak mengatakan mau memberi sesuatu. Kemudian putusan Gunung Mas telah diputuskan dimana saya tidak hadir atau tidak mengambil putusan, karena sudah di dalam penahanan," ungkap Akil.
Akil juga membantah komunikasi antara dirinya dan Chairun Nisa yang menyatakan permintaan uang Rp3 miliar melalui layanan pesan singkat (SMS).
"Ya, semua (SMS) itu benar, walaupun komunikasi dalam SMS itu ada yang sifatnya guyon tidak serius. Dia (Chairun Nisa) mengatakan akan ke rumah saya, itu SMS terakhir," tambah Akil.
Akil juga membantah mendapatkan Rp1 miliar dari advokat Susi Tur Andayani terkait sengketa pilkada Lebak.
"Sesuai fakta, perkara Lebak sudah diputus lewat musyawarah hakim, dan ada komunikasi menawarkan sejumlah uang dan saya tolak. Kata-kata siapkan Rp3 miliar itu sebelumnya," jelas Akil.
Akil juga membantah mengetahui uang Rp1 miliar yang berasal dari pengusaha Tubagus Chari Wardhana alias Wawan.
"Saya tidak tahu, saya hanya tahu dia tawarkan Rp1 miliar, dan saya tolak. Sesudah pengucapan putusan seandainya dia meng-SMS sebelum putusan saya menolak, karena saya sedang berada di sidang pilkada Jatim," ungkap Akil.
Selanjutnya mengenai penerimaan uang dari Empat Lawang sebesar Rp15,5 miliar dan pilkada Palembang sejumlah Rp20 miliar, menurut Akil hanyalah imajinasi.
"Sesungguhnya itu hanya imajinasi, karena saya tidak pernah meminta, menyuruh kedua pihak. Untuk memperkuat ini, perkara Empat Lawnag dan Palembang adalah pilkada yang perhitungan surat suaranya diulang, dan dalam sidang yang terbuka," jelas Akil.
Akil mengungkapkan bahwa dalam dua pilkada tersebut perhitungan suara ulang dilakukan di hadapan umum di ruang sidang MK yang disaksikan oleh para penasihat hukum masing-masing pihak.
"Mereka melakukan perhitungan yang sama dengan yang dicatat MK jadi mereka sudah tahu apakah mereka menang atau tidak, untuk apa kita minta uang ke mereka? Palembang juga sama, hanya 8 kotak yang selisihnya belasan suara saja, tapi masalahnya adalah dua-duanya pihak yang dimenangkan oleh KPU setelah dilakukan perhitungan ulang malah kalah," tambah Akil,
Dalam kedua sengketa, Akil disebut menggunakan perantara Muhtar Ependy. Dalam sengketa pilkada Empat Lawang, Muhtar menyerahkan uang Rp5 miliar dan 500 ribu dolar AS ke Akil di rumah dinasnya, sisa Rp5 miliar disetorkan ke rekening tabungan pribadi Muhtar di BPD Kalimantan Barat.
Sedangkan dalam pengurusan sengketa pilkada pilkada kota Palembang, uang Rp19,87 miliar diberikan melalui Muhtar Ependy kemudian ditransfer ke rekening giro atas nama CV Ratu Samagat milik istri Akil sebesar Rp3,87 miliar dan Rp7,5 miliar secara tunai, sisa Rp8,5 miliar dikelola oleh Muhtar Ependy sebagai modal usaha atas seizin Akil.
"Saya kenal dengan Muhtar Ependy, tapi saya tidak tahu hubungan dengan Bupati Empat Lawang dan Palembang, terlebih lagi untuk titip uang ke dia. Saya tidak pernah terima langsung uang, tapi hanya ada kiriman empek-empek. Saya tidak pernah terima uang dalam kardus," tambah Akil.
Akil mengaku pernah bekerja sama dengan Muhtar Ependy sebagai orang yang mengerjakan pembuatan kolam ikan Arwana CV Ratu Samagat.
"Kaitan Muhtar Ependy dengan CV Ratu Samagat itu adalah pekerjaan pembuatan pemborongan kolam ikan. Saya ada bukti kontraknya antara CV Ratu Samagat dan PT-nya Muhtar Ependy, ada waktu pekerjaannya," jelas Akil.
Dalam kontrak tersebut tertulis perjanjian pekerjaan kolam ikan arwana "super red" dengan tangal perjanjian 10 Mei 2013 dan cap notaris 30 April 2014.
Pilkada Kabupaten Buton
Sementara untuk Pilkada Kabupaten Buton yaitu Akil diduga menerima Rp1 miliar melalui pengacara Arbab Paproeka yang mengirim uang ke rekening CV Ratu Samagat, Akil juga membantah.
"Saat penghitungan suara ulang, pihak bersengketa meminta ketua MK Pak Mahfud MD untuk meninjau lokasi, tapi saya yang kemudian diperintahkan ke sana. Kita tidak menyaksikan penghitungan suara karena masih pemungutan suara yang akhirnya dimenangkan Samsu Umar, padahal sebelumnya bukan dia. Pihak yang tadinya menang lalu menggugat lagi hasil pemungutan suara ulang, di situlah katanya yang menghubungi ada Arbab Paproeka, padahal saya tidak tahu, tidak pernah perintahkan Arbab dan tidak kenal Arbab tapi faktanya memang ada uang yang dikirim ke CV Ratu Samagat," ungkap Akil.
Akil kembali membantah memaksa Wakil Gubernur Papua 2006-2011 Alex Hesegem memberikannya uang Rp125 juta.
"Dia teman di DPR, saya tidak pernah minta uang. Dia hanya sering konsultasi, namanya teman ngobrol biasa tapi karena ngobrol lewat telepon putus-putus saya katakan mugkin pulsanya habis, jadi begitu," tambah Akil.
Akil menjelaskan bahwa Alex dapat mentransfer uang ke rekeningnya karena Alex pernah meminjam uang ke Akil saat mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Papua saat masih menjabat sebagai anggota DPR.
Sedangkan dalam sengketa pilkada kabupaten Tapanuli Tengah, Akil didakwa menerima Rp1,8 miliar yang diduga diberikan oleh bupati terpilih Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
"Pilkada Tapanuli Tengah lebih aneh lagi, karena saya tidak kenal yang namanya Raja Bonaran Situmeang. Katanya saya menelepon ke Bakhtiar Ahmad Sibarani yang juga saya tidak pernah kenal," tega Akil.
Menurut Akil, Bakhtiar bahkan masih berutang pada CV Ratu Samagat.
"Bakhtiar Sibarani itu penipu karena sampai sekarang belum membayar bisnis batubara dengan CV Ratu Samagat, saya ada buktinya. Saya tidak ada hubungan dengan perkara ini karena saya pun bukan panel," ungkap Akil.
Akil juga membantah mendapatkan janji menerima uang Rp10 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga ketua bidang pemenangan pilkada Zainuddin Amali yang terungkap dari komunikasi blackberry messenger (BBM).
"Saya tidak ada secara langsung kaitannya dengan sengketa Jatim. Komunikasi dengan dia (Zainuddin Amali) karena dia pejabat DPD Golkar di Jatim. Saya tidak memutus perkara itu, itu BBM biasa saja yang tidak ada akibat apapun," tambah Akil.
Mengenai dakwaan bahwa Akil menerima hadiah Rp7,5 miliar dari sengketa pilkada Banten yang berasal dari pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Akil kembali membantah.
"Saya bukan hakim panel yang menangani langsung Banten karena Banten dipegang Pak Mahfud. Wawan hanya pernah kontak saya untuk tanya siapa yang bagus jadi pengacara, saya sampaikan Bambang Widjojanto sebelum dia punya kuasa seperti sekarang, tapi ternyata dia tidak bisa karena sibuk," jelas Akil.
Akil hanya mengakui bahwa uang transfer Wawan ke CV Ratu Samagat sebagai bentuk investasi kebun sawit Wawan, bukan sebagai suap terkait pilkada Banten yang dimenangkan oleh kakak Wawan, Ratu Atut Chosiyah.
"Saya katakan Wan, sekarang lagi bagus investasi di kelapa sawit, lalu ditindaklanjuti oleh dia. Sistemnya bagi hasil, dia hanya injeksi modal saja tapi operasionalnya CV Ratu Samagat, tidak ada kaitan dengan Banten," tegas Akil.
KPK mendakwa Akil menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada, serta pencucian uang dengan menyamarkan harta sebesar Rp161 miliar pada 2010-2013 dan harta sebanyak Rp22,21 miliar dari kekayaan periode 1999-2010.