Jakarta (Antara Kalbar) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar meminta maaf kepada bangsa Indonesia karena perbuatannya.
"Saya memohon maaf kepada institusi saya MK, kepada seluruh profesi hakim dan bangsa dan negara ini," kata Akil dalam pembacaan nota pembelaan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Akil dalam perkara dugaan penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang dituntut maksimal yaitu pidana seumur hidup dan denda Rp10 miliar.
"Sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, banyak kesalahan saya lakukan. Sejak saya ditangkap KPK pada 3 Oktober 2013, sebagai bentuk tanggung jawab sebagai hakim MK, saya mengundurkan diri dan ada pemberhentian tidak hormat walau saya tidak diberikan kesempatan untuk membela diri," ungkap Akil.
Ia mengaku sedang menghadapi nasib buruk terhadap sisa-sisa hidupnya.
"Tapi saya tidak ada niat buruk menghancurkan MK, tidak punya pretensi untuk hancurkan demokrasi, menghancurkan MK, saya dari lubuk hati yang paling dalam minta maaf bila dianggap melakukan tuduhan seperti yang dituduhkan maupun dari pimpinan KPK yang persoalan sebenarnya jauh dari yang saya hadapi," jelas Akil.
Ia mengungkapkan bahwa kasusnya hanya digambarkan secara abstrak dan sengaja dilakukan untuk pencitraan diri dan menanamkan rasa kebencian ke masyarakat.
"Jika ingin objektif, tuntutan saya sangat diwarnai kepentingan politik pimpinan KPK tidak berdasarkan fakta hukum di persidangan, jika pimpinan KPK ada kepentingan politik tuntutan rendah karena ada deal-deal, kalau tidak sesuai dengan harapan pimpinan KPK maka tuntutan sangat tinggi karena banyak penyelenggaran negara merugikan negara hingga triliunan rupiah hanya dihukum rendah, padahal esensi korupsi adalah merugikan keuangan negara. Saya yang tidak menyebabkan kerugian negara, tapi saya diperlakukan secara tidak adil dengan dituntut maksimal itu," ungkap Akil.
Artinya ia melihat bahwa sejak awal Akil menilai diberlakukan tidak adil oleh KPK, disebut tidak kooperatif dan tidak mengakui kesalahannya, dan tidak menyesali perbuatan.
"Padahal terdakwa diberikan hak seluas-luasnya pembelaan diri bahkan diberikan hak ingkar sehingga tidak bisa serta merta dituding menyulitkan persidangan. Hemat saya, saya belum pernah menghambat, menyulitkan persidangan justru penuntut umum yang telah mempolitisir sedemikan rupa dengan mengobral hal-hal yang didakwakan, tidak mengambil saksi-saksi yang berpotensi menguntungkan saya sebagai terdakwa," jelas Akil.
Akil dituntut dengan enam pasal Pasar pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Lebak, Pelembang dan Empat Lawang.
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah, Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten.
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp161 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.