Mayu Fentami, sang motivator penyeru kesehatan dan penyelamatan Sungai Kapuas bagi masyarakat di daerah aliran sungai di Desa Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, meraih penghargaan S.K. Trimurti dari Aliansi Jurnalis Independen.
"Aboh meh kite gaok Sungai Kapuas", terjemahannya, "Mari kita jaga dan pelihara Sungai Kapuas", salah satu kalimat yang selalu keluar dari mulut Mayu Fentami.
Usaha Mayu untuk mengajak masyarakat menjaga kebersihan lingkungan dan menyelamatkan Sungai Kapuas tidaklah sia-sia. Bahkan, dia mampu menyisihkan beberapa nomine dalam meraih penghargaan SK Trimurti 2017 yang diberikan AJI Indonesia setiap tahun kepada para perempuan hebat tersebut.
Kalimat itu selalu keluar dari bibir dara kelahiran Sintang, 17 Juni 1987, melalui siaran Radio Komunitas Surasatu 107 FM di Bunut Hilir saat malam hari. Seruannya terutama tentang penyelamatan Sungai Kapuas.
Meskipun lelah kerja siang hari sebagai petugas kesehatan, Mayu tetap bersemangat dalam mengampanyekan upaya-upaya menjaga lingkungan dan kesehatan.
"Bagi saya menyuarakan sesuatu yang baik kepada warga adalah perbuatan mulia. Tak boleh menyerah hanya karena capai. Inilah salah satu modal sosial saya untuk berbagi pengetahuan," katanya.
Sebagai motivator penyelamatan Sungai Kapuas dan pola hidup sehat, Mayu Fentami sudah menempuh jalan yang panjang dan rumit.
Ia awalnya bertugas sebagai tenaga medis sebuah puskesmas di Kapubaten Kapuas Hulu hingga mengantarnya sampai sebuah desa terpecil di kawasan DAS Sungai Kapuas.
Secara administratif, Bunut Hilir adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar yang wilayahnya terpisah oleh sungai dan kawasan hutan.
"Sebagai daerah terpencil, di sana sangat terbatas akses informasinya. Hal itu diperparah dengan jarak yang begitu jauh antardesa satu dengan lainnya. Dengan demikian tentu saja berdampak pada kondisi lingkungan, ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat. Namun, walaupun daerah terpencil, di Bunut Hilir memiliki radio komunitas," paparnya.
Diceritakannya bahwa tak dimungkiri, pelayanan kesehatan di Puskesmas Bunut Hilir tergolong sangat minim, baik dari segi peralatan maupun tenaga medis.
Tak jarang pula para ibu hamil gagal memeriksa kehamilannya dengan USG sehingga menjelang kelahiran ibu dan anak rata-rata rawan kematian. Hal itu diperparah lagi dengan banyaknya kaum perempuan yang menikah pada usia dini.
"Di pukesmas tempat saya tugas, terkadang oksigen dan obat-obatan kosong. Dan kami harus menunggu beberapa hari sebelum dikirim dari Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam kondisi tersebut mau tidak mau pasien terpaksa menggunakan obat seadanya dan bertahan dengan sakit yang diderita," katanya.
Akibatnya, kondisi kesehatan masyarakat terancam, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Bahkan, dalam satu desa di Kecamatan Bunut Hilir, tercatat ada enam warga mengidap penyakit kanker dan tumor yang selama ini tidak pernah terjadi.
"Hal tersebut diperkiraan akibat penggunaan air secara rutin di sungai yang terindikasi telah tercemar oleh berbagai aktivitas masyarakat, seperti adanya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di hulu desa itu," ujarnya.
Di tengah permasalahan kesehatan dan minimnya fasilitas kesehatan, Mayu Fentami hadir sebagai perawat muda yang bertugas di Puskesmas Bunut Hilir.
Suatu tugas besar telah menantinya dan dia mampu meretas kebekuan yang ada dengan berbagai inovasi. Dia melakoni tugas ganda sebagai seorang perawat dan aktivis peduli lingkungan.
Selain merawat pasien, dia berupaya keras menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan lingkungan.
"Kadang saya membagi waktu memberikan penyuluhan gratis kepada warga di luar jam kerja," jelasnya.
Seiring dengan perjalanan kariernya, Mayu Fentami melebur diri sebagai relawan/penyiar di Radio Komunitas Surasatu 107 FM dalam acara "Bunut Sehat" sejak 2013.
Siarannya bertema seputar dunia kesehatan dan ajakan untuk menjaga kelestarian Sungai Kapuas. Cara penyajian beritanya pun dikemas dalam bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat setempat.
Untuk menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan kepada pelajar dan masyarakat, dia mencoba mengajak anak muda setempat untuk menjadi relawan dan membuat Program KaCa (Kapuas Membaca). Ihwal itu merupakan gerakan membaca bagi anak-anak dan masyarakat.
Program tersebut terus berjalan hingga kini. Bahkan, menjangkau wilayah atau desa terpencil dan terisolasi.
"Untuk mewujudkan masyarakat yang sehat `musti` diawali dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang lingkungan," ucapnya.
Di mata perempuan berhijab ini, masalah utama masyarakat Bunut Hilir adalah kurangnya pengetahuan tentang kesehatan. Di sisi lain, masih ada perilaku hidup yang membahayakan kesehatan lingkungan dan masyarakat, serta mitos-mitos tentang perempuan hamil.
Untuk itu, Mayu terus berinovasi mempromosikan kesehatan dan lingkungan.
Selain puskesmas keliling yang langsung terjun ke masyarakat, siaran Radio "Bunut Sehat" menjadi alternatif promosi kesehatan yang bersifat menghibur.
Dia "jatuh hati" menjadi penyiar Surasatu lantaran daya jangkau radio itu bisa mencapai wilayah yang sangat jauh, seperti kawasan Danau Sentarum.
"Daerah itu sangat sulit dijangkau petugas kesehatan. Dan inilah kelebihan yang khas dari Kecamatan Bunut Hilir, sebab radio menjadi satu-satunya sarana hiburan sekaligus media edukatif untuk masyarakat yang tinggal di danau," ungkapnya.
Salah satu indikator pencapaian dari upaya yang sudah dilakukan Mayu adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terutama kaum perempuan, karena mulai melek sehat dan menyadari pentingnya kesehatan lingkungan.
"Banyak ibu-ibu yang mau memeriksakan kesehatannya. Terutama pemeriksaan infeksi visual asam asetat VIA/papsmer untuk deteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan melalui kerja sama dengan dokter informasi yang kami sampaikan melalui program `Bunut Sehat`," kata Mayu.
Hal lain yang menjadi indikator pencapaian dari program yang digeluti Mayu adalah semakin banyak masyarakat yang meminta materi bertema kesehatan. Caranya mereka sampaikan melalui lisan, kuisioner, dan media sosial.
Untuk KaCa, sebagian besar peminatnya anak-anak. Selain menyampaikan pentingnya menjaga kesehatan dan lingkungan melalui bacaan buku, dia juga melakukan hal-hal aktraktif melalui permainan dan dongeng.
Upaya kesehatan yang sering diajarkan kepada anak-anak adalah cara cuci tangan pakai sabun (CTPS).
Hal itu untuk pencegahan penyakit yang sederhana namun efektif dan mudah diterima anak-anak usia sekolah.
Dampak dari dua kegiatan itu adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitar dan kawasan sungai semakin baik. Hal itu berhasil dia dibuktikan, sehingga kawasan sungai jauh lebih bersih dan tertata apik, serta menurunnya jumlah penderita penyakit menular.
Hingga kini, Mayu Fentami masih gigih berusaha di tengah problematika kesehatan dan keterbatasannya. Kendati demikian, ia juga harus berhadapan dengan persoalan pribadi, keinginan orang tua, dan naik turunnya semangat untuk terus melayani.
Penghargaan Trimurti
Aliansi Jurnalis Independen berkomitmen sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers serta kebebasan berekspresi, dengan salah satu wujudnya berupa pemberian penghargaan S.K. Trimurti.
Sekretaris AJI Pontianak Edho Sinaga mengatakan tahapan seleksi terhadap nomine penghargaan S.K. Trimurti dilakukan secara terbuka, dengan menerima masukan dari masyarakat.
Para juri terdiri atas Azriana (Ketua Komnas Perempuan), Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant Care), dan Endah Lismartini (AJI Indonesia). Mereka telah melakukan seleksi sejak 5 Juli yang ditutup pada 27 Juli 2017, terhadap 18 nama yang masuk, termasuk dari luar Indonesia.
"Seleksi dilakukan dengan beberapa kriteria seperti isu yang diperjuangkan oleh nomine, lokasi nomine berjuang, durasi nomine dalam memperjuangkan isu minimal tiga tahun dan berbagai kriteria lainnya," katanya.
Mayu Fentami adalah salah satu dari empat calon penerima penghargaan SK Trimurti 2017 yang menarik perhatian dewan juri.
Sulitnya medan yang dilalui dalam perjuangannya dan dedikasinya yang tinggi untuk membuka akses masyarakat Bunut Hilir, Kalbar, terhadap informasi, membuat dewan juri menjatuhkan pilihan kepada Mayu Fentami.
"Dalam pandangan dewan juri, Mayu telah berbuat lebih dari apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang perawat yang ditempatkan di desa terpencil," kata Edho.
Menurut dia, Mayu bisa saja hanya menjadi perawat, selebihnya beristirahat.
Namun, Mayu melakukan tugas lain yang tidak kalah pentingnya mengembangkan radio komunitas dan mengelola taman bacaan, guna mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya kesehatan, lingkungan, dan budaya literasi.
Usaha Mayu itu, kata Edho, diusung oleh AJI Pontianak terkait dengan penghargaan S.K. Trimurti 2017.
Keberhasilan dari upaya tersebut juga tidak lepas dari peran WWF Indonesia Program Kalbar, yang menjadi mitra pendamping dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan pengelola Radio Komunitas Surasuta serta memfasilitasi terjalinnya jaringan dengan pegiat kebebasan informasi di luar Kecamatan Bunut Hilir, termasuk dengan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.
(U.A057/M029)