Pontianak (Antara Kalbar) - Kepala Bidang pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Kalbar, Marsalena mengatakan, meningkatnya kasus Difteri di provinsi itu diakibatkan oleh jangkauan imunisasi penta yang sulit.
"Seperti yang kita ketahui, kondisi geografis kita yang sulit menjadi penyebab merebaknya penyakit difteri. Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan kuman bakteri Corynebacterium diphtheria, di Kalimantan Barat ada tujuh kasus penyakit difteri," kata Marsalena di Pontianak, Senin.
Dia mengungkapkan, satu kasus dinyatakan positif dan sisanya masih berupa suspeck atau dugaan penyakit difteri. Ini merupakan data kasus hingga pekan ke-49 tahun ini, atau tepatnya Bulan November 2017.
Di tingkat kabupaten/kota, Kubu Raya merupakan daerah dengan status KLB penyakit difteri. Sebab di daerah ini, satu orang meninggal dunia akibat penyakit difteri berusia enam tahun.
Korban yang meninggal dunia merupakan warga Sungai Rengas, Kabupaten Kubu Raya, pada Mei 2017.
"Meskipun hanya satu tapi sudah positif maka bisa dinyatakan KLB," tuturnya.
Marsalena menambahkan, meningkatnya kasus penyakit ini juga tidak bisa lepas dari tidak optimalnya pemberian imunisasi. Secara nasional capaian imunisasi dalam skala satu tahun haruslah 95 persen.
"Angka itu cukup sulit tercapai bagi 14 kabupaten/kota se-Kalimantan Barat. Untuk periode September saja, cakupan Penta (imunisasi) tidak sampai target, dimana dari target 71,3 persen, ada 11 kabupaten/kota yang tidak mencapai," katanya.
Cakupannya hanya berkisar antara 48,0 persen hingga 70,2 persen. Hanya satu kabupaten saja yang cakupan Penta di bulan September melebihi target yakni di Kabupaten Sanggau sebesar 106,1 persen.
Dikatakannya, Kalbar menjadi berpotensi KLB, karena penularan difteri sangat cepat. Apalagi pada daerah yang rendah imunisasi. Namun selain capaian kualitas vaksin dan kualitas rantai dingin harus baik, dan cara pemberian vaksin harus tepat dan benar.
Marsalena mengakui rendahnya cakupan imunisasi itu karena mendapat penolakan dari masyarakat. "Penolakan itu berkaitan dengan kehalalan dan keharaman sumber asal vaksin serta pengaruh dari budaya masyarakat," katanya.
(U.KR-RDO/B008)