Pontianak (Antaranews Kalbar) - Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Kalbar, Susanto mengatakan adanya perang dagang dua kekuatan utama ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok memberikan peluang besar ekspor minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) Kalbar ke Tiongkok.
"Tiongkok telah memberikan tarif bea masuk sebesar 25 persen untuk produk kedelai AS, termasuk minyak nabati. Itu bisa menjadi peluang kita untuk mengisi produk-produk yang saling dikenakan pajak tinggi di kedua negara itu. Yang sudah pasti akan kena imbas positif adalah CPO kita, karena Tiongkok membatasi impor minyak nabati dari Amerika Serikat," ujarnya di Pontianak, Senin.
Dengan peluang yang ada tersebut, tambahnya, juga semakin memperbesar volume ekspor komoditas CPO Indonesia ke negeri tirai bambu itu.
"Setidaknya hal ini yang diyakini para pengusaha kelapa sawit Indonesia," kata dia.
Susanto yang juga CEO perkebunan Sinar Mas Group Wilayah Kalbar ini menyebut, minyak kedelai adalah saingan kuat terhadap CPO yang berasal dari kelapa sawit.
CPO adalah pengganti minyak kedelai, lanjutnya, untuk itu, pengenaan tarif baru terhadap komoditas itu akan memicu naiknya impor Tiongkok terhadap minyak sawit. Indonesia adalah salah satu produsen terbesar minyak sawit dunia.
"Kendati demikian, selama ini pun, Tiongkok sudah menjadi importir CPO terbesar nomor satu dari Indonesia. Nilai impor kelapa sawit Tiongkok dari Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan secara signifikan," jelas dia.
Ia memaparkan bahwa pada akhir tahun lalu impor kelapa sawit Tiongkok dari Indonesia mencapai 3,73 juta ton, naik dibanding 2016 sebanyak 3,23 juta ton.
Pihaknya menyakini ekspor minyak sawit ke Tiongkok memang akan meningkat volumenya secara besar-besaran, namun untuk harga globalnya masih sulit diprediksi. Pasalnya, saat ini, pasar CPO Indonesia masih terbatas pada negara-negara tertentu saja.
Untuk memperluas pasar, Indonesia menghadapi perang dagang dengan para produsen minyak nabati trutama negara-negata Uni Eropa.
"Produk CPO kita masih dihambat habis-habisan untuk masuk ke Eropa. Sementara di berbagai forum, sawit kita terus dijelek-jelekkan dan dikampanyekan dengan jahat," katanya.
Hal itu, menurut dia, berdampak pada terbatasnya ekspor CPO ke negara-negara Eropa.
"Tentu kita terus melakukan protes terhadap kampanye hitam dan taktik dagang Eropa ini," kata dia.
Padahal, tambahnya, CPO adalah komoditas paling efisien secara luasan lahan dibanding dengan produksinya, apalagi dibandingkan dengan minyak nabati dari Eropa.
"Tak heran sawit terus dituding sebagai pangkal deforestisasi, kerusakan lingkungan dan isu-isu negatif lainnya. Padahal dalam beberapa tahun terakhir, tuduhan-tuduhan tersebut mulai dimentahkan oleh Indonesia dengan penerapan berbagai standar bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit," kata dia.