Jakarta (ANTARA) - Dunia pendidikan tinggi merasakan dampak yang signifikan dengan adanya pandemi COVID-19. Tidak hanya dari sisi pembelajaran tetapi juga sisi bisnis. Kondisi itu dirasakan perguruan tinggi swasta (PTS), yang mengalami penurunan jumlah mahasiswa baru sejak COVID-19 menghantam.
Tak hanya dampak COVID-19, PTS yang berjumlah lebih dari 95 persen dari total 4.523 perguruan tinggi di Tanah Air, juga merasakan dampak dari berkurangnya daya beli masyarakat.
Perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) bahkan harus mencari cara agar tetap bertahan. Salah satunya dengan cara mencicil SPP yang biasanya dibayar per semester menjadi per bulan.
Hal itu terungkap dalam diskusi Club Edukasi Media Peliput Akademi (CEMPAKA) dengan tema “Sinergitas Tingkatkan APK Pendidikan Tinggi Bermutu dan Berkeadilan" yang diselenggarakan di Universitas YARSI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dialog tersebut dihadiri oleh sejumlah narasumber diantaranya Rektor Universitas YARSI Prof dr Fasli Jalal PhD, Plt Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek Prof Nizam MSc DIC PhD IPU ASEAN Eng, Wakil Ketua Komisi X DPR, Dr Ir Hetifah Sjaifudian MPP, Rektor Universitas Negeri Padang Prof Drs Ganefri MPd PhD, Ketua Umum APTISI Prof Dr Ir HM Budi Djatmiko MSi, dan Wakil Bendahara II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Dr Muhammad Muchlas Rowi SS MM.
Dalam bincang edukasi tersebut, diketahui bahwa PTS yang baru saja bangkit dari pandemi COVID-19, juga harus menghadapi tantangan lainnya, yakni tak terbatasnya kuota penerimaan jalur mandiri di perguruan tinggi negeri (PTN).
Wakil Bendahara II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Dr Muhammad Muchlas Rowi, menyebut persaingan antara PTN dan PTS kini semakin ketat dan membuat penurunan mahasiswa baru yang cukup signifikan.
Idealnya, PTN yang dibiayai sepenuhnya oleh negara baik dosen maupun biaya operasional, harus fokus pada sistem seleksi nasional berdasarkan prestasi (SNBP) dan seleksi nasional berbasis tes (SNBT), dan bukan pada jalur mandiri. Sejatinya PTN memang diperuntukkan bagi mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah agar dapat mengenyam pendidikan tinggi dengan biaya terjangkau.
Selain itu, perlu adanya transparansi kuota penerimaan serta pembatasan jadwal penerimaan mahasiswa baru di PTN. Sehingga PTS bisa mengatur strategi untuk dapat menggaet mahasiswa baru.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI) juga menyoroti potensi penyelewengan dengan kurang transparannya penerimaan mahasiswa baru di PTN khususnya jalur mandiri.
Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta saja, misalnya jika sebelumnya hanya menerima mahasiswa sekitar 3.000 mahasiswa, namun saat ini menerima lebih dari 15.000 mahasiswa baru.
Kondisi itu tak hanya dialami UIN Syarif Hidayatullah, tetapi juga sejumlah universitas negeri lainnya seperti Universitas Negeri Padang, Universitas Indonesia, dan lainnya.
Oleh karenanya, perlu adanya evaluasi pada seleksi jalur mandiri di PTN. Hal itu juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, yang menilai perlu adanya perbaikan pada seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN.
Selain itu juga celah korupsi terbuka lebar dan sulit terdeteksi dengan kurang transparannya jalur mandiri di PTN. Misalnya seperti terjadi pada jalur mandiri di Universitas Negeri Lampung beberapa waktu lalu.
Padahal baik PTN dan PTS, tak semestinya saling berebut mahasiswa karena pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama yakni meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi.
Sinergisme antara PTN dan PTS dinilai penting, karena apa yang dilahirkan oleh perguruan tinggi berkaitan langsung dengan pengembangan di daerah. Baik dari sisi sumber daya manusia, penelitian, maupun pengabdian masyarakat.
Pemerintah juga perlu menyadari bahwa jika tak ada afirmasi pada PTS, maka dikhawatirkan mutu dan jumlahnya akan menurun, serta dapat mengancam kualitas riset dan pengembangannya.
Sebelum adanya pandemi COVID-19, PTS tak merasa kesulitan dalam menjalankan operasional kampus karena terbantu dari biaya SPP mahasiswa. Namun kini, kondisi itu tergerus dengan semakin berkurangnya jumlah mahasiswa baru di PTS.
“Padahal tujuan kita, tentu agar semua anak bangsa yang potensia baik kaya maupun miskin, dapat meraih pendidikan tinggi yang bermutu, merata dan relevan,” kata Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal.
Pemerintah memberikan kelonggaran daya tampung khusus untuk PTN yang berstatus berbadan hukum (PTNBH). Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia no 48 tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, PTN yang berstatus PTN BH.
Khusus PTN berstatus PTN BH, untuk jalur SNBP, daya tampung maksimal 20 persen, kemudian SNBT sebanyak 40 persen dan kemudian seleksi mandiri diberikan kelonggaran hingga 50 persen.
Tantangan besar
Pemerintah melalui Kemendikbudristek menyebut perlu adanya sinergi dalam meningkatkan APK Pendidikan Tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, APK pendidikan tinggi di Tanah Air sebesar 31,16 persen.
Sinergisme itu penting karena perguruan tinggi juga harus menghadapi tantangan besar, yakni menyiapkan lulusan dengan kompetensi yang tidak seorang pun tahu seperti apa kiranya pekerjaan yang dibutuhkan pada masa depan. Hal itu dikarenakan dunia berubah dengan sangat cepat.
Jika tidak berhati-hati, maka perguruan tinggi hanya akan melahirkan lulusan dengan kompetensi masa lampau. Kemendikbudristek juga menilai perguruan tinggi harus dapat memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan di Tanah Air.Salah satunya melalui kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dibuat untuk mengantisipasi disrupsi yang terjadi saat ini.
Meski demikian, persaingan antara PTN dan PTS dalam penerimaan mahasiswa baru tersebut juga perlu diperhatikan. Pasalnya jika dibiarkan berlarut maka akan merugikan banyak pihak baik dari sisi kualitas maupun penelitian yang dihasilkan.