"Kita tegaskan bahwa sekarang tidak ada lagi riset arkeologi yang bersifat regional. Arkeolog Papua silakan mau riset di Situs Bongal (Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) itu boleh," katanya dalam acara Peringatan 20 Tahun Penemuan Homo Floresiensis yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Herry mengungkapkan riset yang bersifat regional ikut berubah, seiring dengan perubahan yang terdapat di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.
Dia menjelaskan perubahan tersebut meliputi adanya Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), sehingga turut mengubah tata kelola pewarisan kebudayaan, serta riset terkait.
Melalui Peringatan 20 Tahun Penemuan Homo Floresiensis, Herry mengatakan peringatan tersebut dapat menjadi sebuah momentum untuk menyatukan para arkeolog di Indonesia.
"Saya menangkap satu semangat baru teman-teman arkeolog, peringatan ini bisa jadi satu semangat, momentum dari perubahan riset arkeologi," ujarnya.
Untuk itu, Herry mengatakan BRIN tengah menyiapkan wadah baru dalam penelitian arkeologi di Indonesia, yakni dengan melakukan program ekskavasi selama lima tahun pertama.
"Yang membedakannya, gak ada ekskavasi selama dua hingga tiga minggu, tapi langsung tiga bulan," jelasnya.
Herry menyebutkan program ekskavasi akan dilakukan di Situs Daerah Aliran Sungai (DAS) Lematang di Bumiayu, Jawa Tengah, serta kemudian di Situs Bongal di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
BRIN, sambungnya, juga membekali para peneliti dengan teknologi termutakhir, termasuk sejumlah alat seperti mikroskop elektron kriogenik atau Cryo-EM yang dapat mendeteksi sampel hingga usia ribuan tahun.
"Mudah-mudahan, hal ini bisa menjadi salah satu hal baik di BRIN, khususnya di bidang riset arkeologi," tutur Herry Yogaswara.