Jakarta (ANTARA) - Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Puadi mengatakan bahwa institusinya menghadapi berbagai persoalan terkait teknis hukum dan pemaknaan dalam menangani pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).
"Masalah ASN memang luar biasa. Dalam Pilkada 2020, terdapat 1.536 dugaan pelanggaran, sementara jumlah perkara yang dihentikan ada 53 dan yang direkomendasikan (untuk ditindaklanjuti) ada 1.398," kata Puadi saat menerima audiensi Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jakarta, Selasa, dikutip dari rilis yang diterima dari Bawaslu.
Puadi mengatakan bahwa terdapat perbedaan penanganan pelanggaran netralitas ASN dalam UU nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu, UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, dan UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN.
Ia menuturkan bahwa dalam UU ASN, pelanggaran netralitas ASN hanya dikenakan sanksi administrasi. Sementara itu menurut dia, dalam UU Pemilu dan UU Pilkada terdapat dua jenis sanksi, yakni administrasi dan pidana.
Selain itu menurut Puadi, banyaknya rekomendasi Bawaslu terkait pelanggaran netralitas ASN dengan status penanganan yang tidak jelas juga menjadi persoalan tersendiri.
"Ada juga rekomendasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) yang tidak ditindaklanjuti PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian). Ini catatan krusial," ujarnya.
Dia menyatakan bahwa Bawaslu akan memasifkan sosialisasi aturan terkait pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu karena masih tingginya pelanggaran netralitas.
Berdasarkan data KASN pada 2022, terdapat 2.073 pegawai sipil yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas.
Sebanyak 1.605 orang atau 77,5 persen dari jumlah ASN yang dilaporkan terbukti melakukan pelanggaran dan mendapat rekomendasi KASN untuk dijatuhi sanksi.
Sementara itu, 88,5 persen dari jumlah ASN yang terbukti melanggar atau sejumlah 1.420 orang telah ditindaklanjuti kasusnya dan mendapatkan sanksi moral dan disiplin dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).