Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan Indonesia memiliki keunggulan berupa energi hijau, sehingga dapat digunakan untuk menembus pasar Eropa di tengah perang tarif antara Amerika Serikat dengan China.
“Indonesia punya keunggulan komparatif terhadap energi hijau, yang kemudian kita bisa penetrasi (memasuki) pasar di mana pun, Eropa, Amerika, di mana saja,” ucap Bahlil dalam pembukaan Global Hydrogen Ecosystem Summit & Exhibition 2025 di Jakarta, Selasa.
Indonesia, sambung Bahlil, punya potensi energi baru dan terbarukan yang melimpah, mulai dari tenaga angin, matahari (surya), hingga air.
Khusus untuk tenaga air, Bahlil menilai ada potensi pengembangan PLTA sebesar 3.600 gigawatt (GW) atau sekitar 3,6 terawatt (TW). Jika berhasil, akan ada ratusan ribu lapangan kerja yang terserap dan Indonesia bisa mengantongi devisa hingga miliaran dolar AS.
"Kalau ini mampu kita lakukan, ini akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan kurang lebih sekitar 300 ribu dan bisa mendatangkan devisa kurang lebih sekitar 70 miliar dolar AS," kata dia.
Pernyataan tersebut merupakan respons terhadap tarif resiprokal yang diumumkan oleh Amerika Serikat pada awal April. Menurut dia, kenaikan tarif perdagangan merupakan hal yang biasa di dunia usaha.
Oleh karena itu, lanjut Bahlil, masyarakat tidak perlu merasa seolah-olah dunia akan berakhir.
“Ini bagian dari strategi dagang saja,” ucapnya.
Bahlil menyampaikan bahwa perang tarif yang terjadi justru menunjukkan bahwa semua negara sibuk memikirkan kedaulatan negaranya masing-masing. Blok di sebuah kawasan, lanjutnya, tidak lagi menjadi sesuatu yang dipercaya.
Menteri ESDM menilai bahwa yang semestinya menjadi fokus saat ini adalah membangun komunikasi politik dan ekonomi yang menguntungkan bagi masing-masing negara, tanpa mengintervensi antara negara yang satu dengan negara lainnya.
“Di sini hakikat keberadaan sebuah negara untuk saling menghargai antara satu dengan yang lain,” kata Bahlil.
Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen dan Vietnam 46 persen.
Akan tetapi, pada Rabu (9/4/2025) sore waktu AS, Trump telah mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China.
Negara yang rencananya dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.