Medan (Antara Kalbar) - Kampanye negatif terhadap kelapa sawit terus bergulir di Tanah Air, bahkan upaya penolakan komoditas itu terus dilakukan.
Namun di sisi lain salah satu jenis minyak nabati itu semakin dibutuhkan menyusul krisis minyak bumi.
Kebutuhan akan minyak sawit itu salah satu terungkap dalam acara Oil World Outlook Conference di Hamburg, Jerman, 30 November 2013.
Pada pertemuan yang dihadiri berbagai kalangan dari negara produsen dan konsumen disebutkan bahwa ketergantungan global pada minyak sawit pada tahun 2020 semakin besar dan Indonesia diperkirakan dan diharapkan menjadi pemasok terbesar produk itu.
Pada tahun 2020, produksi sawit Indonesia diperkirakan mencapai 42 juta ton dari total produksi dunia yang mencapai 78 juta ton.
Setelah Indonesia yang 42 juta ton, disusul produksi negara lain yakni Malaysia 23 juta ton, Thailand 2,8 juta ton, Kolumbia 1,6 juta ton, Nigeria 1,3 juta ton dan dari beberapa negara lain 7,3 juta ton.
"Ironis memang, di satu sisi sawit kerap dihujat atau dipersoalkan bahkan dibenci, tetapi di sisi lain dibutuhkan," kata Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun di Medan.
Derom menjadi salah satu pembicara pada acara itu.
Menurut dia, kebutuhan akan minyak sawit tidak terelakkan karena ditengah persedian minyak bumi yang semakin menipis, sawit adalah tanaman yang masih menjanjikan dikembangkan dibandingkan dari tanaman lain bahkan dari hewan.
Industri ternak misalnya disebutkan merupakan industri yang paling merusak hutan atau lebih parah dari yang disebut-sebut untuk tanaman sawit.
Kemudian, kandungan lemak minyak sawit juga lebih rendah atau hanya 5-10 persen dibandingkan dari minyak hewan yang mencapai 90 persen.
Data Oil World 2011 bahkan menunjukkan tingkat produktivitas sawit lebih tinggi.
Kelapa sawit, misalnya hanya menggunakan lahan sebanyak 12 juta hektare atau lima persen dari total lahan 253,923 juta hektare, sedangkan kedelai hingga 41 persen.
Produksi komoditas kelapa sawit Indonesia yang merupakan bahan mentah minyak goreng (crude palm oil/CPO) rata-rata mencapai 23,5 juta ton per tahun.
Dari jumlah itu, 16,5 juta ton diekspor ke sejumlah negara di dunia, terutama AS dan Eropa.
Jika memperhatikan kapasitas produksi nasional tersebut, tentu seharusnya industri-industri kelapa sawit mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, apalagi pertumbuhan industri makanan dan minuman nasional terus meningkat.
Perlu Promosi
Melihat besarnya potensi sawit itu, maka DMSI menilai perlunya semua kalangan ikut mengampanyekan sawit itu secara positif di luar negeri maupun di dalam negeri.
Kampanye positif bukan hanya untuk menepis isu negatif sawit tetapi semakin mempromosikan sawit Indonesia.
Perlu diingat bahwa kelapa sawit berperan besar dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat mengingat dari 9,1 juta hektare lahan tanaman itu, 42 persen milik petani.
"Kalau produksi disusul ekspor dan harga jual sawit naik, tentunya akan menguntungkan bagi Indonesia secara keseluruhan,"ujar Derom.
Tahun 2014 misalnya, dengan produksi "crude palm oil "(CPO) atau minyak mentah kelapa sawit Indonesia yang diperkirakan hanya naik sedikit dari 2013 atau mencapai 29,5 juta ton diperkirakan akan membuat harga jual tren menguat.
Pada 2013, produksi sawit nasional hanya 26,2 juta ton dari prediksi awal bisa mencapai 28 juta ton-28,5 juta ton.
Produksi antara lain terhambat akibat panen terganggu cuaca ekstrem dan gangguan itu diperkirakan masih berlangsung hingga tahun 2014.
Apalagi dewasa ini untuk menjaga lingkungan, Pemerintah memperketat peraturan dan disusul semakin terbatasnya areal untuk pengembangan sawit di dalam negeri.
Dengan produksi yang turun ditambah adanya penguatan konsumsi di dalam negeri khususnya untuk biodiesel, maka ekspor juga diprediksi melemah.
Kalau tahun 2013 ekspor CPO bisa 19 jutaan ton, maka 2014 diprediksi sekitar 18 jutaan ton.
Prediksi produksi dan ekspor sawit Indonesia yang cenderung turun itupun mendapat perhatian serius dari peserta yang hadir dalam acara Oil World Outlook Conference tersebut.
Apalagi, pada tahun 2014, kebutuhan dunia naik lagi mencapai 58,3 juta ton.
"Kebutuhan yang meningkat ditengah pasokan tren melemah tentunya membuat harga jual bisa naik," katanya.
Akhir tahun 2013 ini, harga ekspor CPO sudah mencapai 900an dolar AS per metrik ton (MT) dari 800an dolar AS per MT sebelumnya.
Petani Berharap
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Anizar Simanjuntak mengakui, petani memang berharap harga ekspor CPO naik sehingga harga tandan buah sawit (TBS) ikut naik.
Dari komoditas lainnya, sawit dalam beberapa tahun terakhir sudah terbukti mengangkat kehidupan petani.
Oleh karena itu pula selain berharap harga CPO naik, Apkasindo juga secara perlahan terus berbupaya meningkatkan kualitas produksi dengan cara melakukan penyuluhan dan membantu peremajaan tanaman tua milik petani.
Bahkan untuk menghindari petani dari kerugian penetapan harga jual yang tidak sesuai, Apkasindo sudah dan terus mengembangkan pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kepemilikan sahamnya oleh kelompok tani.
Sawit boleh dibenci, tapi nyatanya semakin dibutuhkan dan petani bahkan Pemerintah berharap pendapatan banyak dari sawit itu.
"Sawit sudah memberikan banyak pendapatan kepada Pemerintah melalui berbagai pajak termasuk BK (bea keluar) CPO,"katanya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IX, Sumut-Aceh, Hari Utomo menyebutkan sawit memang masih menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Sumut.
Peningkatan taraf hidup petani dan devisa dari produk sawit itu menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi Sumatera bagian utara tahun 2014 yang ditargetkan sebesar 5,6 persen hingga 5,8 persen.