Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menyarankan, pemerintah untuk menunda penerapan larangan distribusi BBM bersubsidi untuk usaha perikanan yang memiliki kapal besar atau diatas 30 gross ton.
"Saya mendesak agar presiden sebaiknya membatalkan pelaksanaan perintah BPH Migas tersebut dan menunda pelaksanaannya hingga pasca Pilpres 2014," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Selasa.
Sebelumnya, BPH Migas melalui surat yang ditandatangani kepala BPH Migas No. 29/07/Ka.BPH/2014 tanggal 15 Januari 2014 telah mengeluarkan perintah kepada Pertamina, AKR dan Surya Parna Niaga agar tidak menyalurkan BBM bersubsidi kepada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran kapal di atas 30 GT.
Sofyano menyayangkan, larangan tersebut dikeluarkan dengan tanpa ada rembuk dengan kelompok nelayan dan atau melalui organisasi nelayan, tanpa disosialisasikan secara nasional ke pengguna BBM bersubsidi tersebut.
"Larangan tersebut tanpa dilakukan sosialisasi ke para nelayan sehingga berpotensi menimbulkan dampak terhadap pelaku penyaluran BBM bersubsidi, yaitu Pertamina, AKR dan SPN, berpotensi menimbulkan masalah dilapangan, apalagi pemberlakuan pelarangan tersebut diterbitkan empat bulan menjelang pelaksanaan Pemilu," ungkapnya.
Sehingga berpotensi menimbulkan gejolak politis, akhirnya berpotensi kontra produktif dengan tujuan ditetapkannya larangan tersebut. Mengingat jumlah nelayan di negeri ini yang sangat siginifikan dan ketika timbul "penolakan" dari mereka terhadap larangan tersebut, maka bisa jadi "alat" perjuangan bagi parpol dan calon Legislatif untuk meraih simpati para nelayan.
"Sehingga keputusan BPH Migas dan pemerintah tersebut akhirnya akan mandul ketika parpol dan caleg yang akan manggung di Pemilu 2014 berhasil mementahkannya," katanya.
Larangan tidak menyalurkan BBM bersubsidi bagi kapal usaha perikanan diatas 30 GT, juga berpotensi bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM No. 18/2013 tentang Harga Jual Eceran BBM jenis Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu, karena Permen tersebut tidak secara tegas memuat larangan yang sama dengan perintah BPH Migas tersebut.
Disisi lain Perpres No. 15/ 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu yang juga dijadikan acuan dari perintah kepala BPH Migas tersebut menetapkan penyaluran BBM bersubsidi bagi keperluan usaha perikanan hanya untuk kapal dengan maksimal 30 GT.
Namun setelah pernah timbul protes dari nelayan, kemudian lahir Peraturan Menteri ESDM No. 08/2012 tentang Pelaksanaan Perpres tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna BBM Tertentu, akhirnya terdapat Penetapan dalam Permen tersebut Pasal 3, bahwa kapal dibawah dan diatas 30 GT dapat menggunakan BBM bersubsidi paling banyak 25 KL/bulan.
Selain itu, menurut Sofyano, BPH Migas maupun Menteri ESDM harusnya menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat khususnya kelompok nelayan alasan pelarangan penggunaan bbm bersubsidi bagi kapal diatas 30 GT termasuk juga menjelaskan mengapa pada Permen ESDM No. 08/2012, kegiatan usaha perikanan dibolehkan mendapat BBM bersubsidi paling banyak 25 KL/bulan dan mengapa tidak terdapat ketentuan secara tegas pada Permen ESDM No. 18/2013.
"Penjelasan itu diperlukan agar tidak timbul kegelisahan bagi para nelayan khususnya nelayan yang menggunakan kapal 30 GT," katanya.