London (Antara Kalbar) - Pakar Hubungan Internasional dan kandidat doktor pada School of Politics and International Relations di Australian National University (ANU), Yasmi Adriansyah, membenarkan pernyataan Jokowi dalam debat capres (22/6) bahwa Indonesia tidak terlibat dalam sengketa Laut China Selatan.
"Karena itu, klaim dari pihak lain bahwa Jokowi salah itu justru tidak tepat, sebab pandangannya sudah sesuai dengan literatur akademis," kata menjabat Direktur 'Projecting Indonesia' kepada Antara London, Senin.
Menurut dia, dari berbagai literatur akademis menunjukkan bahwa ada enam negara atau pihak yang mengklaim teritori di kawasan tersebut yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
"Kawasan yang menjadi sengketa adalah rantai sekitar 200 pulau kecil dan batu karang yang membentuk gugusan kepulauan Spratly dan Paracel. RRT dan Taiwan mengklaim kawasan itu sepenuhnya milik mereka, sementara negara lainnya mengklaim sebagian (partial claims)," katanya.
Dalam konteks sengketa teritori tersebut, Indonesia tidak pernah menyatakan diri sebagai salah satu negara yang mengklaim, baik penuh maupun parsial, dari gugus kepulauan Spratly dan Paracel.
"Adapun posisi Indonesia selama ini adalah menyatakan haknya atas zona ekonomi ekslusif (ZEE) 200 mil di batas luar kepulauan Natuna yang notabene sejalan dengan Konvensi PBB 1979 mengenai Hukum Laut (UNCLOS)," ujar Yasmi Adriansyah.
Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa Indonesia bukanlah salah satu negara yang terlibat sengketa karena tidak pernah menjadi pengklaim Laut China Selatan.
"Yang mungkin relevan terkait Indonesia adalah 'potensi konflik' jika sengketa di kawasan tersebut semakin meluas, khususnya jika RRC bertindak semakin agresif hingga ke zona Indonesia," katanya.
Ia mengakui sejauh ini hubungan antar-pemerintahan dan bisnis antara Indonesia dan Tiongkok dalam keadaan baik dan tidak terganggu atas sengketa enam negara di Laut China Selatan.
"Selama ini Indonesia justru menjadi 'honest broker' atau mediator yang baik bagi negara-negara yang bersengketa, khususnya melalui penyelenggaraan berbagai lokakarya yang dikenal sebagai 'diplomasi pencegahan' (preventive diplomacy)," katanya.
Oleh karena itu, tidak tepat jika Indonesia 'dipaksa' terlibat dalam pusaran konflik, apalagi karena faktor solidaritas ASEAN seperti yang digagas Prabowo.
"Permasalahan ini bukanlah konflik antara ASEAN dengan Tiongkok, namun lebih bersifat individual masing-masing negara. Selain itu, negara-negara yang bersengketa, khususnya RRT, justru akan menjadi curiga jika Indonesia melibatkan diri karena faktor solidaritas ASEAN," katanya.
Sengketa Laut China Selatan semula tidak terlalu "high profile" dalam konteks politik internasional, namun seiring berbagai informasi yang menyebutkan potensi kekayaan alam (minyak dan gas) di kawasan tersebut, yang diklaim mencapai 213 miliar barel, maka isu teritorial ini mengemuka sebagai sengketa geopolitik dan ekonomi.
Ketegangan terakhir antara RRT dengan Vietnam semakin membuat kawasan Laut China Selatan memanas. Sejauh ini upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan dilakukan dalam kerangka membangun kepercayaan (confidence building) dan diplomasi pencegahan, namun hal ini lebih bersifat pencegahan konflik terbuka (militer).
"Sejumlah akademisi menyerukan penyelesaian sengketa melalui norma hukum internasional seperti UNCLOS, misalnya dengan menggunakan Pasal 3 (Laut Teritorial), Pasal 55 dan 75 (ZEE), dan Bagian VIII mengenai Rejim Kepulauan," demikian Yasmi Adriansyah.