Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria mempertanyakan harga BBM yang dijual dalam negeri tidak mengalami penurunan ketika harga minyak dunia turun.
"Masyarakat di negeri ini heran dan dan bertanya-tanya, mengapa ketika harga minyak dunia turun, tetapi harga BBM dalam negeri tidak ikut turun. Dan sayangnya keheranan masyarakat itu tidak pernah dijawab secara jelas dan tegas oleh pemerintah," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, hingga saat ini, masyarakat tidak pernah mendapat informasi bahwa pembelian minyak mentah dari luar negeri memerlukan proses, prosedur dan mekanisme yang harus dilalui yang membutuhkan waktu cukup lama. Ketika hari ini harga minyak turun dan badan usaha membeli minyak dari produsen di luar negeri, maka minyak yang dibeli hari ini baru bisa sampai ke tangan konsumen sekitar satu bulan sampai 1,5 bulan ke depan.
"Pada dasarnya belanja atau membeli minyak pasti akan bertumpu pada stok minyak yang sudah dimiliki badan usaha, baik minyak yang masih dalam proses pengiriman dari negara penjual, dan juga pada stok yang ada pada depo penyimpanan. Depo minyak yang dimiliki badan usaha Pertamina pada kenyataannya, sudah lama kapasitas tampungnya dalam kondisi sangat terbatas," ungkapnya.
Hal itu, juga salah satu penyebab mengapa ketika harga minyak dunia turun, badan usaha seperti Pertamina tidak bisa langsung seketika "memborong" minyak dalam jumlah besar. Membeli minyak dalam jumlah besar ketika harga sedang turun, juga memiliki risiko rugi besar karena sangat bisa terjadi harga minyak akan kembali turun sementara badan usaha, misalnya terlanjur memborong minyak saat itu, katanya.
"Harusnya penyediaan stok BBM nasional, baik berupa crude oil dan BBM menjadi tanggung jawab pemerintah, bukannya dibebankan ke perusahaan seperti Pertamina. Negara yang harus menyiapkan anggaran untuk membeli minyak dan kemudian barulah `menjualnya` ke badan usaha, sehingga dapat membeli crude atau BBM dalam jumlah besar yang menjadi kunci ketahanan energi bagi bangsa ini," ujarnya.
Karena lamanya proses, mulai dari mengolah hingga distribusi yang membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan, hingga pada saat BBM tersebut masuk ke tangki kendaraan konsumen, sering terjadi harga minyak sudah berubah, naik kembali atau turun lagi. Dan ketika turun lagi, namun "pemerintah" tetap menjual dengan harga sesuai harga pembelian sebelumnya dengan tidak menurunkan kembali harga Jual, katanya.
Itulah pula, sebabnya mengapa perhitungan harga jual oleh badan usaha senantiasa didasarkan pada HIP (harga indeks pasar), misalnya MOPS, selama satu bulan meskipun bisa saja perubahan harga dilakukan dua minggu sekali. "Sehingga ketika harga minyak naik terus sehingga HIP rata-rata sebulan juga naik, maka seharusnya diikuti dengan harga jual BBM yang naik," katanya.
Dalam kesempatan itu, menurut dia, disitulah terbukti pemerintah tanggal 27 Maret 2015 menetapkan harga jual BBM dibawah harga pasar. Oleh karena itu, ketika akan melakukan "penurunan harga jual" saat ini, harus dilihat kembali apakah penurunan harga minyak saat ini sudah mengakibatkan rata-rata HIP bulanan, dan sudah di bawah rata-rata HIP pada waktu penetapan harga 27 Maret 2015, jika belum, maka harusnya harga jual belum perlu turun.
Tetapi bagi konsumen BBM yang sudah terbiasa "dimanja" dengan sikap pemerintah yang berkuasa sebelumnya, sejak Orde Baru, yang "menina bobokan" konsumen dengan subsidi BBM demi mulusnya masa berkuasa, sehingga ketika harga minyak naik dan harga jual BBM dikoreksi naik, maka konsumen BBM akan protes keras pemerintah, walau UU baik UUD 45, dan UU No. 22/2001, sudah jelas menyatakan hanya golongan tertentu saja yang wajib disubsidi pemerintah, kata Sofyano.
Oleh karena itu, program revolusi mental Presiden Jokowi harusnya juga merambah ke konsumen BBM. Konsumen harus diinformasikan secara jelas dan benar bahwa ketika masyarakat menghendaki harga BBM turun ketika harga minyak dunia turun, itu berarti penetapan harga BBM sudah menggunakan acuan yang mengacu kepada harga pasar nyata.
"Artinya jika konsumen sudah menerima itu, maka konsekuensinya konsumenpun harus legowo ketika harga minyak naik maka pada saatnya harga jual BBM pun harus naik pula. Jika hal itu tidak diinformasikan, maka yang utama menjadi sasaran kemarahan dan cacian konsumen adalah Pertamina," kata Direktur Puskepi.
(A057/N005)