Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalbar, Taufik Wijayanto mengatakan, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014, realisasi penerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup baik di sektor tertentu, namun juga mengalami penurunan pertumbuhan di sektor lainnya.
Sedangkan untuk Kalbar, per 4 September Kanwil DJP Kalbar mencatat realisasi pajak mencapai 39,46 persen dari target pajak sebesar Rp 6,48 triliun.
Ia menjelaskan, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas, sebagai satu-satunya jenis pajak yang bertumbuh, mencatatkan pertumbuhan 9,46 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2014. Berdasarkan data yang tercatat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sampai dengan 31 Agustus 2015, penerimaan PPh Non Migas adalah sebesar Rp 320,997 triliun.
Angka ini lebih tinggi 9,46 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 dimana PPh Non Migas tercatat sebesar Rp 293,250 triliun. Pertumbuhan PPh Non Migas merupakan suatu anomali ditengah penurunan pertumbuhan sektor pajak lainnya.
Menurut dia, sebagai salah satu instrumen yang mencerminkan pertumbuhan kesejahteraan dan sisi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, pertumbuhan ini cukup tinggi, sehingga memberi harapan bagi DJP untuk terus berupaya mencapai target penerimaan pajak.
Pertumbuhan yang dicatatkan oleh PPh Non Migas diantaranya didukung oleh pertumbuhan PPh Non Migas Lainnya, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, PPh PPh Final, PPh Pasal 21, PPh Pasal 26, PPh Pasal 25/29 Badan, serta PPh Pasal 23.
Pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh PPh Non Migas Lainnya yakni 63,91persen, atau sebesar Rp 63,73 miliar dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 38,88 miliar. Dengan kinerja tersebut, penerimaan dari PPh Non Migas Lainnya sudah mencapai 96,80persen dari target yang ditetapkan di tahun 2015.
Pertumbuhan tertinggi kedua dicatatkan oleh PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yakni 27,63persen, atau sebesar Rp 4,225 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 3,310 triliun. Dengan kinerja tersebut, penerimaan dari PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sudah mencapai 81,03persen dari target yang ditetapkan di tahun 2015.
Pertumbuhan yang tinggi ini salah satunya dipicu oleh tingginya pelunasan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) buah dari keberhasilan deterrent effect penegakan hukum khususnya pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan (gijzeling) wajib pajak.
Pertumbuhan signifikan berikutnya dicatat oleh PPh Final yakni 17,32persen, atau sebesar Rp 61,070 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 52,056 triliun. DJP mencatat pertumbuhan PPh Final disebabkan oleh peningkatan sektor jasa keuangan seperti bunga deposito/tabungan dan diskonto/bunga obligasi.
Lebih lanjut, DJP juga mencatat pertumbuhan PPh Final dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan sebagai buah kebijakan penurunan loan to value ratio yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selain itu, pencapaian PPh Final ini juga merupakan buah keberhasilan dari kebijakan pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Pertumbuhan tinggi selanjutnya dari PPh Pasal 21 yakni 11,78persen, atau sebesar Rp 79,696 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 71,294 triliun. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini salah satunya disebabkan karena kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Pertumbuhan ini patut disyukuri di tengah kebijakan pemerintah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 3 juta per bulan dan mulai berlaku untuk tahun pajak 2015 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.03/2015.
Kabar baik juga datang dari PPh Pasal 26, dengan pertumbuhan 9,66persen, atau sebesar Rp 26,792 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 24,432 triliun. DJP mencatat pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar mata uang dolar AS terhadap Rupiah hingga akhir Agustus lalu.
Terlepas dari keuntungan akibat nilai tukar mata uang US$, kepatuhan wajib pajak luar negeri melalui pembayaran PPh Pasal 26 patut disyukuri di tengah lesunya perekonomian dunia.
Berikutnya, pertumbuhan tercatat dari PPh Pasal 25/29 Badan yakni 8,51persen, atau sebesar Rp 100,280 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar 92,419 triliun. Masih tumbuhnya penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan diyakini sebagai upaya pelaku usaha untuk terus bertahan dalam lesunya pertumbuhan ekonomi sekaligus memanfaatkan kebijakan Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) 2015.
Pertumbuhan juga dicatatkan oleh PPh Pasal 23 yakni 4,88persen, atau sebesar Rp 17,809 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 16,980 triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh meningkatnya dividen dan royalti yang dibayarkan di tahun 2015.
Keseluruhan pertumbuhan penerimaan PPh tersebut patut disyukuri karena mencerminkan meningkatnya partisipasi masyarakat, baik wajib pajak Orang Pribadi maupun wajib pajak Badan dalam membayar pajak, meski di tengah melambatnya perekonomian dunia dan nasional.
Namun demikian, DJP juga mencatat adanya penurunan pertumbuhan dari PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor. Penurunan tertinggi dicatatkan PPh Pasal 22 Impor yakni 5,34persen atau sebesar Rp 27,138 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 28,669 triliun.
Berdasarkan data Bank Indonesia, perlambatan ekonomi masih terasa hingga pertengahan kuartal III tahun 2015 yang ditandai dengan melemahnya kurs Rupiah hingga menembus Rp 14.300 per US$ 1 dan penurunan impor Indonesia dari awal tahun hingga akhir Agustus 2015.
Keseluruhan kondisi makro ekonomi tersebut berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan PPh Pasal 22 Impor.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 terjadi penurunan pertumbuhan 3,16persen atau sebesar Rp 3,919 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 4,047 triliun. Penurunan PPh Pasal 22 disebabkan oleh penurunan setoran dari beberapa sektor usaha yang antara lain disebabkan oleh penurunan harga minyak dunia, rendahnya impor migas, penurunan kinerja sektor otomotif dan penurunan harga komoditas perkebunan dan perhutanan.
Selain itu masih belum membaiknya penerimaan dari PPh Pasal 22 merupakan indikasi belum terserapnya anggaran belanja Pemerintah dengan optimal, khususnya belanja modal.
Penurunan impor juga berpengaruh pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor yang mengalami penurunan pertumbuhan 12,15persen atau sebesar Rp 85,487 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 97,310 triliun.
Demikian pula halnya dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Impor yang juga mengalami penurunan pertumbuhan 24,46persen atau sebesar Rp 2,948 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 3,903 triliun.
Perlambatan ekonomi juga memicu penurunan konsumsi atas barang mewah dalam negeri yang berkontribusi pada penurunan pertumbuhan PPnBM Dalam Negeri yakni 16,19persen atau sebesar Rp 5,758 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 6,871 triliun. Penurunan terbesar PPnBM Dalam Negeri dipicu oleh kebijakan Pemerintah yang menghapus beberapa barang dari daftar barang mewah yang wajib dikenakan PPnBM.
Ditengah berbagai penurunan PPN dan PPnBM akibat perlambatan ekonomi, kabar baik dicatatkan PPN/PPnBM Lainnya yang mengalami pertumbuhan 65,37persen atau sebesar Rp 183,61 miliar dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 111,03 miliar.