Sebagai garda terdepan pengumpul penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk senantiasa mengembangkan kemampuannya dalam membina aspek perpajakan perusahaan multinasional tersebut.
"Salah satu isu perpajakan perusahaan multinasional yang dinilai strategis adalah transfer pricing. Isu ini dipicu oleh transaksi perusahaan multinasional di Indonesia ke afiliasinya di luar negeri," ujar Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah DJP Kalbar Taufik Wijiyanto.
Perusahaan afiliasi adalah perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain, antara lain karena kesamaan pemilik perusahaan dalam bentuk prosentase kepemilikan saham.
Alih-alih menggunakan transaksi wajar, perusahaan multinasional seringkali menetapkan harga jual di bawah harga wajar, dan menetapkan harga beli dan biaya di atas harga wajar guna mengecilkan pajak yang harus dibayar di Indonesia.
Praktik inilah yang sering disebut sebagai penyalahgunaan transfer pricing. Umumnya, tujuan dari transaksi ini adalah penghindaran pajak melalui profit shifting atau "pemindahan keuntungan" dari perusahaan di Indonesia ke perusahaan afiliasinya di luar negeri yang bertempat di negara dengan tarif pajak rendah atau low tax rate country (LTRC).
Profit Shifting
Profit Shifting
Praktik profit shifting lazim digunakan oleh perusahaan multinasional yang memiliki cabang di berbagai negara untuk menggelembungkan keuntungannya dengan cara mengecilkan pajak yang harus dibayar.
Caranya adalah dengan merancang agar perusahaan grup yang ada di LTRC menjadi perusahaan dengan laba terbesar.
Dengan menggunakan transaksi yang tidak wajar, Wajib Pajak diminta untuk “membeli†barang atau jasa dari perusahaan LTRC dengan harga di atas wajar, sehingga terus menerus merugi. Transaksi seperti inilah yang lazim disebut sebagai transfer pricing.
Lalu bagaimana Wajib Pajak dapat terus beroperasi jika merugi? Jawabannya adalah dengan diberikan hutang terus menerus sehingga Wajib Pajak berada dalam situasi “hidup segan mati tak mauâ€.
Jadi, tidak perlu heran apabila di Indonesia banyak dijumpai perusahaan multinasional yang terus menerus merugi namun sebaliknya tetap beroperasi sepanjang tahun.
Membina Perusahaan Multinasional dan Grup Dalam Negeri
Membina Perusahaan Multinasional dan Grup Dalam Negeri
DJP mencatat, pada tahun 2012, dari 1.161 Wajib Pajak Penanaman Modal Asing (PMA), sebutan bagi perusahaan multinasional di Indonesia, yang bertransaksi dengan afiliasinya di luar negeri, sebanyak 436 Wajib Pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Rugi dengan total transaksi afiliasi sebesar Rp. 76,22 triliun.
Angka ini meningkat pesat di tahun 2013, di mana dari 1.284 Wajib Pajak PMA yang bertransaksi afiliasi ke luar negeri, terdapat 515 Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Rugi dengan total transaksi afiliasi sebesar Rp. 269,33 triliun.
"Peningkatan yang sangat pesat tersebut tentunya menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi DJP hingga berupaya semaksimal mungkin untuk menghentikan tren kerugian Wajib Pajak PMA tersebut," ujar dia.
Pada tahun 2013, DJP menerbitkan aturan untuk memutus tren kerugian Wajib Pajak PMA melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Aturan tersebut bahkan dijabarkan dalam bentuk petunjuk teknis bagi pemeriksa pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa serta SE-26/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Perusahaan Grup.
Lebih lanjut, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 telah mengatur mengenai perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan. Berbekal aturan tersebut, DJP mulai melatih pegawainya mulai dari pemeriksa pajak, account representative, hingga penelaah keberatan melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan tentang transfer pricing.
"DJP juga terus menerus mengembangkan basis data perpajakan yang dimilikinya dengan data transaksi nilai pasar wajar dari pihak swasta di berbagai negara agar memiliki petunjuk besaran harga yang dinilai wajar bagi suatu transaksi," kata Taufik.
Sejak tahun 2007, DJP memperkaya basis datanya dengan basis data komersial yang berisi jutaan laporan keuangan perusahaan seluruh dunia yang ampuh digunakan sebagai benchmarking atas perusahaan multinasional yang terindikasi melakukan penyalahgunaan transfer pricing.
DJP juga memiliki tim khusus yaitu Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus yang dibentuk untuk membantu pemeriksa pajak dalam meningkatkan kualitas pemeriksaan transfer pricing, pemeriksaan grup dalam negeri serta pemeriksaan perusahaan minerba dan migas.
Selanjutnya dengan menggunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (UU), yakni pasal 18 ayat (3) UU PPh, yang berbunyi: "Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak...", DJP mulai melakukan berbagai pemeriksaan khusus terhadap perusahaan multinasional.
Selain mengawasi perusahaan multinasional, DJP juga melakukan pembinaan terhadap perusahaan grup dalam negeri, serta perusahaan pertambangan dan migas.
Pembinaan ini dilakukan karena ditemukannya praktik pengurangan laba melalui transaksi transfer pricing domestik ataupun bentuk tax planning lainnya.
Untuk menangani maraknya penyalahgunaan praktik transfer pricing, berbagai kegiatan dan event tax dialogue baik yang diprakarsai oleh Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, ataupun lembaga-lembaga internasional seperti SGATAR, OECD, G-20 serta pertemuan-pertemuan dengan perwakilan negara asing yang selama ini dijalin mulai membuahkan hasil. Dari kegiatan tersebut DJP berbagi pengalaman dan pelatihan terkait praktik transfer pricing yang ada di masing-masing negara.
Selanjutnya modus penyalahgunaan transfer pricing yang sudah dikenali akan menjadi pengetahuan bersama dalam menggiatkan perang terhadap penyalahgunaan transfer pricing.
Tak lupa pertukaran data atau Exchange of Information (Eol) perusahaan yang sering melakukan praktik transfer pricing juga dilakukan agar dapat dilakukan pengawasan khusus di negara lain.
Berkat upaya-upaya tersebut, serta melalui pemeriksaan intensif yang melibatkan 170 Wajib Pajak di tahun 2013 dan 223 Wajib Pajak di tahun 2014, DJP berhasil membukukan koreksi transaksi afiliasi sebesar Rp 21,9 triliun yang sebagian besar berasal dari Wajib Pajak PMA yang merugi.
Perang Terus Berlanjut
Perang Terus Berlanjut
Di Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) 2015 ini, DJP terus melanjutkan perang terhadap berbagai penyalahgunaan transfer pricing. Pembinaan terhadap perusahaan PMA senantiasa dilakukan dan menjadi salah satu program utama DJP (baca: Edi Slamet Irianto: Kami Senantiasa Membina Perusahaan PMA Yang Merugi).
Selanjutnya, melalui Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, DJP memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh Wajib Pajak terutama terhadap perusahaan grup dalam negeri maupun perusahaan multinasional untuk menghentikan praktik penyalahgunaan transfer pricing-nya.
Wajib Pajak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh penghapusan sanksi pajak dengan membetulkan SPT Tahunan PPh Badan sekaligus menyetorkan kekurangan pajaknya.
Di tahun 2016 nanti yang merupakan Tahun Penegakan Hukum (law enforcement), DJP akan melakukan tindakan penegakan hukum melalui pemeriksaan secara masif terhadap Wajib Pajak yang memiliki indikasi melakukan praktik penyalahgunaan transfer pricing.
Mari hentikan praktik tercela untuk menghindari pajak, karena #PajakMilikBersama.