Pontianak (Antara Kalbar)- Pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Tanjungpura, Prof Dr Eddy Suratman mengemukakan, pengelolaan kawasan perbatasan di Indonesia termasuk di lima kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, terkendala lemahnya regulasi.
"Berdasarkan UU Nomor 43/2008, saya melihat masih ada ketidakjelasan titik berat pengembangan kawasan perbatasan," ujarnya saat menjadi pembicara seminar perbatasan yang digelar KMKS, Sabtu.
UU tersebut di antaranya menyatakan bahwa kawasan perbatasan adalah 2ecamatan. Sementara PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan bahwa kawasan perbatasan merupakan Kawasan Strategis Nasional yang menjadi fokus pengembangan atau pembangunan Pusat Kegiatan Strategis Nasional,"
Ia menambahkan, dalam UU yang ada tersebut juga tidak mengatur secara jelas kewajiban masing-masing pemerintahan dalam pembiayaan (penganggaran). UU tersebut hanya disebutkan bahwa masing-masing level pemerintahan berkewajiban menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan.
"Mungkin, karena tidak begitu jelas siapa yang menjadi host, maka seolah-olah UU Nomor 43/2008 ini tak bertuan. Ketiadaan kementerian secara langsung bertanggungjawab dalam masalah ini tentu saja membawa konsekuensi," katanya.
Dengan ketidakjelaskan payung hukum yang ada, menurut Eddy, mengakibatkan hingga kina kondisi di perbatasan masih memprihatinkan. Hal itu dapat terlihat dari potret IPM daerah lima kabupaten di Kalbar yang masih di bawah IPM Kalbar.
"IPM bisa menjadi kacamata apakah daerah tersebut sejahtera atau tidak. Kalau IPM suatu wilayah rendah seperti di daerah perbatasan di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu maka kesejahteraan rendah pula," katanya.
Menurut Eddy, kondisi rendahnya perkembangan pembangunan di Perbatasan didorong juga masih rendahnya pembangunan infrastruktur seperti jalan.
"Masih banyak jalan masih rusak di Kalbar. Bagaimana kita mau mikirkan sekolah dan bertani dengan maksimal fasilitas jalan minim," katanya.
Dengan kondisi yang ada dan dikaitkan dengan regulasi yang lemah yang berdampak pada APBN atau kucuran dana pusat ke Kalbar yang minim harus diperjuangkan.
"Solusinya adalah perkuat regulasi. Kalau proses regulasinya lamban untuk diperkuat ya paling efektif Kalbar harus membentuk daerah otonomi baru. Berdasarkan kajian saya paling tidak Kalbar harus memiliki tiga provinsi dan 25 kabupaten," kata dia.