Pontianak (Antaranews Kalbar) - Pola asuh dan minimnya kesadaran terhadap kebutuhan gizi, menjadi kendala dalam pelaksanaan program kesehatan yang berhubungan dengan gizi di Kalimantan Barat, kata Konselor gizi Dinas Kesehatan Kalimantan Barat, Rayna Anita SKM MPh.
"Pemerintah sudah banyak membuat program kesehatan yang berhubungan dengan gizi, baik ibu maupun balitanya. Namun diakui, dari fakta yang ada pola asuh rendah dan minimnya 'aware' masyarakat akan kebutuhan gizi menjadi kendala bagi program yang ada," katanya saat menjadi pembicara dalam Diskusi terfokus yang digagas IMA World Health bekerja sama dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) dengan tema "ASI Ekslusif Cegah Stunting", Selasa.
Padahal menurut dia pemenuhan gizi, terutama di 1000 hari pertama kehidupan sangat penting ditambah asupan ASI eksklusif dari 0-6 bulan balita.
Dia menambahkan, pola asuh masyarakat dimana-mana kini sama, para ibu sekarang sibuk dengan telepon genggamnya. Mereka hanya menganjurkan anak untuk makan, tetapi tidak menyiapkan makanannya.
"Harus ada kontak batin antara anak dan ibu saat menyuapkan makanan ke anak," kata staf Dinas Kesehatan Kalbar itu.
Menurut dia, intervensi perbaikan gizi tidak hanya dilakukan oleh pihak kesehatan tetapi harus melibatkan pihak lainnya.
Masih menurut Rayna, berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah, tak terkecuali Kalbar dalam menekan laju anak dengan masalah stunting, wasting dan gemuk. Sementara data Kementerian Kesehatan mencatat Indonesia termasuk salah satu dari 17 negara dari 117 negara dengan tiga masalah gizi tinggi pada balita, yaitu stunting, wasting dan gemuk.
Pemerintah pusat pun menginstruksikan daerah untuk segera merealisasikan berbagai program untuk meningkatkan gizi kepada balita di 1.000 hari kehidupan.
Kalbar dengan geografis yang lain juga memiliki persoalan gizi yang serius. "Ini terlihat dari 14 kabupaten/kota di Kalbar, 9 di antaranya merupakan wilayah dengan sebaran persoalan gizi, terutama stunting," kata dia.
Stunting adalah anak yang tidak sesuai tinggi badan menurut umur atau pendek. Stunting menjadi penting dibahas karena mempengaruhi generasi dan kehidupan sosial. Selain itu juga berpengaruh pada perkembangan otak.
Anak dengan persoalan gizi akut menjadi persoalan ke dapat yang mampu merusak masa depan anak itu sendiri. Bagaimana tidak, kondisi tubuh dan otak anak sangat dipengaruhi pola gizi yang diberikan.
"Anak dengan masalah gizi, pastinya memiliki otak kecil, sulit mengingat pelajaran, cenderung memiliki emosi yang labil, tingkat pemahaman yang kurang. Berbeda dengan anak denga gizi cukup yang secara kondisi dan otak berkembang dengan baik," jelasnya.
Sementara trend status gizi balita Indonesia tahun 2016 berdasarkan indeks TB/U, mencatat sebanyak 8,5 persen balita mempunyai status gizi sangat pendek dan 19,0 persen balita mempunyai status gizi pendek dengan total 27,5 persen dan 7,1 persen baduta dengan status gizi sangat pendek dan 14,6 persen pendek dengan total 21,7 persen.
Meskipun penurunan masih satu persen tapi, diharapkan ke depan persoalan tersebut bisa bersama-sama diatasi, terutama terus menerus memberikan pemahaman kepada calon ibu dan ibu untuk memberikan gizi yang baik karena kehidupan awal dapat menentukan masa depan anak, kata dia.
Sementara itu, Kepala Divisi Edukasi dan Pengembangan AIMI Kalbar, Dian Rakhmawati mengatakan, selain asupan gizi cukup pada awal masa kehamilan, asupan di usia 0-6 bulan juga tidak kalah penting, terutama pemberian ASI eksklusif secara penuh tanpa campuran apapun hingga pemberian makanan pendamping usia enam bulan.
"Balita lahir hingga enam bulan menjadi wajib diberikan ASI secara penuh, lewat enam bulan diberikan makanan pendamping disertai ASI yang tidak sepenuh di masa-masa awal balita," katanya.
Jika dihitung dari masa kehamilan hingga kelahiran dan usia balita hingga dua tahun. Itu yang disebut 1000 hari kehidupan, dari awal kehamilan hingga usia anak dua tahun.
"Ini 'concern' kita bahwa ASI memiliki kandungan gizi yang diperlukan balita, jadi sayang jika ibu tidak memanfaatkan apa yang sudah tuhan berikan," kata perempuan itu.
Dian mengutip catatan WHO, bahwa terdapat 60 persen balita tidak mendapatkan penyusuan yang optimal, 42 persen ibu dan balita yang melakukan inisiasi menyusu dini dalam satu jam pertama kehidupan atau yang dikenal dengan IMD dan 39 persen ibu dapat menyusui eksklusif selama enam bulan kehidupan bayinya.
"Faktanya masih banyak yang belum memberikan bayinya penyusuan optimal, IMD dan penyusuan hingga enam bulan," ucapnya.
Sementara Ketua PKBI Kalbar, Mulyadi mengatakan suatu bangsa yang hebat bisa dilihat dari kehidupan generasinya. Jika generasinya kuat dan tangguh, maka bisa dipastikan kehidupan bangsa tersebut di masa depannya.
"Indonesia, terutama Kalbar bisa menciptakan generasi tangguh dengan memaksimalkan potensi masyarakat dan membuka wawasan kesadaran akan pentingnya 1000 hari kehidupan," katanya.
Dia mengatakan, tugas bersama dan tidak bisa satu lembaga saja, pemerintah, non pemerintah, NGO maupun media hingga masyarakat menjadi kunci penentu keberhasilan gizi ini.
"Penguatan fisik dan mental yang bermula dari pemenuhan gizi dalam keluarga, untuk itu penguatan-penguatan keluarga ini yang pertama kita bentuk karena semua bermula dari lingkungan keluarga, ibu, ayah, dan anak-anak," katanya.
(N005/)