Menguak sederet kasus perdagangan orang dan TKI ilegal di Kalimantan Barat
Rabu, 19 Juni 2019 22:15 WIB
Pontianak (ANTARA) - Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus kawin kontrak dan TKI ilegal di Kalimantan Barat merupakan PR bersama bagi aparat penegak hukum, pemerintah daerah, lintas sektoral, kementerian/lembaga terkait.
Aparatur penegak hukum dan penyelenggara negara harus benar-benar hadir guna menjamin kelangsungan hidup warga negara yang memiliki hak dasar, yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan hukum yang berkeadilan.
Karsita (45) ibu rumah tangga warga Kampung Api-Api, Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, sudah 13 tahun dirundung pilu karena ditinggal putrinya Yulisa hingga kini tanpa kabar berita. Kabar terakhir Yulisa (13 tahun saat itu) mengikuti ajakan oknum warga di Sungai Pinyuh untuk berangkat ke Negeri Jiran mengadu nasib sebagai TKI.
Juni 2016, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Mempawah berhasil mengawal kasus TPPO dengan korban Serli (21). Beruntung, Serli saat itu berhasil dipulangkan Pemerintah atas dugaan TPPO dan kasus eksploitasi ulah oknum mak comblang dan agen penghubung yang berhasil menikahkan Serli dengan WNA di Tiongkok.
Setibanya di kampung halaman Serli mengaku melakukan kawin kontrak dan mendapatkan iming-iming rupiah oleh oknum mak comblang dan agen. Namun, di Tiongkok Serli mengaku mendapat perlakuan yang tidak wajar oleh sang suami dan keluarga. Hingga kini Ia mengaku mengalami trauma.
April 2017 Bareskrim Mabes Polri mengungkap dugaan korban TPPO di wilayah perbatasan Entikong, Kabupaten Sanggau. Sebanyak enam wanita dan satu pria WNI diperiksa dan di data Polsek Entikong. Kemudian, 15 Desember 2017 hingga Maret 2018 Polda Kalbar menerima 15 laporan kasus TPPO dan TKI ilegal. Dalam menindaklanjuti laporan tersebut Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus Polda Kalbar berhasil mengungkap 13 kasus.
Dari 13 kasus yang terungkap, Polda Kalbar berhasil mengungkap 9 kasus TPPO dan menetapkan 7 orang tersangka. Sisanya merupakan kasus TKI ilegal dengan 60 korban. Sebanyak 20 korban merupakan perempuan. Tujuh di antaranya masih anak-anak dan bayi. Kasus tersebut antar lain terungkap di Pontianak, Sintang dan Melawi, dan sudah di proses hukum.
Pada awal Juni 2019, Serikat Buruh Migran Kabupaten Mempawah kembali mengungkap kasus IM perempuan WNI asal Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. SBMI Kabupaten Mempawah menyebutkan terdapat 4 saksi yang mengetahui terjadinya kawin kontrak Perempuan bawah umur itu dengan WNA.
Modus operandi pelaku TPPO berhasil di urai SBMI, mulai dari pemalsuan dokumen pernikahan hingga pemalsuan identitas keyakinan (agama) si korban. Oknum mak comblang dan agen lagi-lagi berperan penting memuluskan kejahatan tersebut.
Berbagai temuan dan pengungkapan kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar dalam tiga tahun terakhir bagai pesan berantai yang menekankan bahwa Kalbar boleh jadi dalam radar pelaku TPPO dan TKI ilegal. Benarkah Kalbar kini darurat TPPO dan TKI ilegal. Ungkapan inilah yang di dengungkan SBMI di Kalbar yang seharusnya jadi perhatian serius para pemangku kebijakan di daerah dan pusat.
Fakta lain, pada 12 Juni 2019, Ditkrimum Polda Kalbar bersama Imigrasi Pontianak dan Kanwil Kemenkumham Wilayah Kalbar kembali mengungkap kasus TPPO dengan modus kawin kontrak di sebuah rumah mewah di kawasan Pontianak Selatan.
Pemilik rumah, korban dan sejumlah WNA asal Tiongkok kemudian digelandang ke Polda Kalbar. Hasil penyidikan, Polisi menetapkan pemilik rumah sebagai tersangka. Sementara, 7 WNA asal Tiongkok dilimpahkan ke Imigrasi Kelas Satu Pontianak dan di amankan di ruang Detensi. Ketujuh WNA RRC itu disinyalir melanggar UU keimigrasian dan terancam dideportasi.
Kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar bagai gunung es yang tampil di permukaan. Sementara, dalam kelangsungan pelayanan publik di Imigrasi Wilayah Kalbar, ternyata hingga akhir Mei 2019 Kalbar dalam ranking 10 besar dengan data 211 dalam hal menolak penerbitan paspor WNI. Penolakan tersebut dilakukan di imigrasi Sambas, Singkawang, Pontianak, dan Sanggau.
Data tersebut memang jauh menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni 402 pemohon yang ditolak pada tahun 2018, yang telah menempatkan Kalbar pada ranking kedua secara nasional di bawah Medan, Sumut yang menimbulkan keprihatinan Kalbar dalam darurat TPPO.
Mencermati kasus TPPO dan TKI di Kalbar, Wakil Ketua Himpunan Psikolog Wilayah Kalbar, Yulia Ekawati Tasbita mengurai bahwa kawin kontrak dan iming-iming rupiah yang menjadi modus operandi oknum pelaku TPPO hingga kini menyisakan cerita duka memilukan. Bahkan di antara keluarga korban masih menaruh harapan korban dapat kembali ke Tanah Air dan berkumpul sedia kala bersama orangtua dan saudara.
"Saya kira memang kasus TPPO dan TKI ilegal ini sangat rentan terjadi di sejumlah daerah di Kalbar. Motif ekonomi, pendidikan rendah, minimnya pengetahuan dan keterbatasan informasi menjadi faktor penyebabnya. Tapi saya kira diperlukan instrumen penting, sinergi preventif guna mencegah, bahkan penindakan tegas. Ironis memang, apalagi umumnya korban TPPO dan TKI ilegal ini umumnya adalah perempuan dan usia bawah umur," tutur Yulia.
"Ke depan juga perlu dipertimbangkan bagaimana kelanjutan upaya pendampingan dan pemulihan terhadap korban TPPO, khususnya wanita bawah umur. Ini peting agar psikis dan kejiwaan korban tidak terganggu dan korban perlu kita dorong agar memiliki masa depan dalam meniti kehidupannya," tambah dia.
Secara prinsip, menurut Yulia dibutuhkan komitmen bersama sebagai bentuk pertanggungjawaban moral pihak terkait. Baik yang terlibat langsung dalam proses pengurusan administrasi kependudukan, mulai dari RT, tokoh agama dan tokoh masyarakat, Kepala Desa, Dinas Catatan Sipil, misalnya.
"Instrumen penting sebagai mitra dan perpanjangan tangan pemerintah inilah menurutnya tidak boleh abai dan kebobolan. Sehingga malapraktik administrasi dan nama-nama pejabat penting yang berwenang benar-benar bersih dari segala bentuk manipulasi dan pemalsuan dokumen yang dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Personal dan sindikat
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris SBMI Kabupaten Mempawah, Iswandi menekankan tidak ada lagi yang mengabaikan kelangsungan pengurusan administrasi masyarakat di birokrasi terkait kependudukan. Berdasarkan temuan dan konfirmasi SBMI pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kabupaten Mempawah dan Kota Pontianak, masih ditemukan pemalsuan penerbitan surat-surat penting.
"Meski telah membantah secara tegas, pejabat berwenang pada dinas terkait hendaknya lebih teliti dalam menandatangani, menerbitkan perihal administrasi kependudukan pemohon, surat domisili, KTP, akta nikah dan sebagainya. Jangan ada celah untuk oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab," ucap Iswandi.
Iswandi menilai Kalbar saat ini boleh jadi dalam situasi darurat TPPO. Terlepas apakah praktik tersebut dimainkan secara personal atau sindikat.
"Harus diakui Kalbar memang masih sangat rawan kejahatan TPPO. Terbukti, hampir setiap tahunnya kasus TPPO dengan modus kawin kontrak terjadi berulang di berbagai kabupaten/kota di Kalbar," ucapnya.
Dalam hal penindakan hukum, Polda Kalbar menyatakan telah banyak mengungkap kasus TPPO dan persoalan TKI ilegal di Kalbar. Kapolda Kalbar Irjen Pol. Didik Haryono menegaskan pihaknya telah memetakan sejumlah zona merah yang di duga menjadi kelangsungan praktik TPPO.
"Sudah kita petakan sejumlah wilayah-wilayah itu. Singkawang, Sungai Duri, Mempawah dan Sanggau ini zona yang cukup rawan TPPO. Kita minta peranan aktif semua elemen di masyarakat, termasuk rekan-rekan media dalam memberikan informasi yang akurat untuk kita tindaklanjuti laporannya," ucap Kapolda.
Menindaklanjuti kasus tujuh orang WNA asal Tiongkok yang bermasalah dan telah dilimpahkan Polda Kalbar ke Imigrasi Kelas I Pontianak, terkonfirmasi jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan keimigrasian maka WNA RRC tersebut dapat dipidanakan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Hal itu ditegaskan pihak Kanwil Kumham Kalbar.
"Akan kita tuntaskan pemeriksaannya paling lama dalam minggu ini," jelas Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kumham Kalbar, Husni Thamrin.
Berdasarkan laporan Inteldak Imigrasi Kelas I Pontianak, beber Husni, pihaknya juga belum dapat membuat kesimpulan. Apakah tujuh orang WNA asal RRC yang diamankan merupakan kelompok atau sindikat TPPO dengan modus kawin kontrak.
"Duduk masalahnya belum selesai. Tapi pada akhirnya nanti apakah mereka di deportasi atau penyelesaian melalui peradilan. Akan kita sampaikan nanti kesimpulannya setelah dokumen-dokumen WNA tersebut kita terima dan periksa. Akan kita beberkan. Mohon bersabar rekan-rekan media," ujar Husni.
Disinggung maraknya wanita di Kalbar yang melakukan pernikahan dengan WNA dari RRC, menurut Husni hal tersebut cukup wajar. Ia menilai terjadinya asimilasi melalui pernikahan wanita WNI keturunan Tionghoa dengan WNA RRC misalnya, jika dilihat dari kultur masih memiliki kesamaan.
"Selain kultur etnisnya tidak jauh berbeda, faktor biaya murah bisa saja. Akan tetapi jika pascapernikahan tersebut terjadi, lantas si wanita WNI tersebut dibawa ke RRC kemudian diperlakukan dengan tidak baik sudah tentu itu bermasalah dari awal," tegas Husni.
Husni menegaskan, upaya imigrasi Wilayah Kalbar sendiri dalam mengeliminir TPPO sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2011 dengan memperketat pengawasan jalur lintas dan internal. Terhadap pemohon wanita usia muda yang membuat paspor, misalnya, secara tegas dilakukan penundaan pemberian paspor.
"Bahkan kita lakukan penundaan berangkat terhadap pemohon. Ini yang kita lakukan dalam mengeliminir TPPO. Apalagi berangkat dan bekerja secara ilegal, sudah jelas itu indikasinya TPPO. Jadi semua pengawasan terkait TPPO dan TKI ilegal ini sebenarnya sudah kita perketat," jelas Husni.
Persoalan TPPO dengan modus kawin kontrak dan TKI ilegal secara ekonomis harus diakui menjadi lahan bisnis para pelaku. "Benefit" atau nilai keuntungan yang didapat serta peluang yang cukup besar di wilayah Kalbar, yang didukung dengan kondisi sosial, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya merupakan alasan yang sulit ditolak bagi kalangan ekonomi rendah.
Peran orangtua, tokoh masyarakat, pemuka agama dinilai penting untuk dapat membentengi lingkungan sosial. Kepekaan sosial itu penting dicanangkan dan akan semakin kuat jika terbangun sinergitas bersama pemerintah setempat dan Bhabinkamtibmas sebagai aparatur berwenang. Sehingga daya tangkal dalam mencegah terjadinya TPPO dan TKI ilegal ataupun keberadaan WNA di lingkungan dapat dicegah dan ditindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku.
Aparatur penegak hukum dan penyelenggara negara harus benar-benar hadir guna menjamin kelangsungan hidup warga negara yang memiliki hak dasar, yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan hukum yang berkeadilan.
Karsita (45) ibu rumah tangga warga Kampung Api-Api, Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, sudah 13 tahun dirundung pilu karena ditinggal putrinya Yulisa hingga kini tanpa kabar berita. Kabar terakhir Yulisa (13 tahun saat itu) mengikuti ajakan oknum warga di Sungai Pinyuh untuk berangkat ke Negeri Jiran mengadu nasib sebagai TKI.
Juni 2016, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Mempawah berhasil mengawal kasus TPPO dengan korban Serli (21). Beruntung, Serli saat itu berhasil dipulangkan Pemerintah atas dugaan TPPO dan kasus eksploitasi ulah oknum mak comblang dan agen penghubung yang berhasil menikahkan Serli dengan WNA di Tiongkok.
Setibanya di kampung halaman Serli mengaku melakukan kawin kontrak dan mendapatkan iming-iming rupiah oleh oknum mak comblang dan agen. Namun, di Tiongkok Serli mengaku mendapat perlakuan yang tidak wajar oleh sang suami dan keluarga. Hingga kini Ia mengaku mengalami trauma.
April 2017 Bareskrim Mabes Polri mengungkap dugaan korban TPPO di wilayah perbatasan Entikong, Kabupaten Sanggau. Sebanyak enam wanita dan satu pria WNI diperiksa dan di data Polsek Entikong. Kemudian, 15 Desember 2017 hingga Maret 2018 Polda Kalbar menerima 15 laporan kasus TPPO dan TKI ilegal. Dalam menindaklanjuti laporan tersebut Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus Polda Kalbar berhasil mengungkap 13 kasus.
Dari 13 kasus yang terungkap, Polda Kalbar berhasil mengungkap 9 kasus TPPO dan menetapkan 7 orang tersangka. Sisanya merupakan kasus TKI ilegal dengan 60 korban. Sebanyak 20 korban merupakan perempuan. Tujuh di antaranya masih anak-anak dan bayi. Kasus tersebut antar lain terungkap di Pontianak, Sintang dan Melawi, dan sudah di proses hukum.
Pada awal Juni 2019, Serikat Buruh Migran Kabupaten Mempawah kembali mengungkap kasus IM perempuan WNI asal Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. SBMI Kabupaten Mempawah menyebutkan terdapat 4 saksi yang mengetahui terjadinya kawin kontrak Perempuan bawah umur itu dengan WNA.
Modus operandi pelaku TPPO berhasil di urai SBMI, mulai dari pemalsuan dokumen pernikahan hingga pemalsuan identitas keyakinan (agama) si korban. Oknum mak comblang dan agen lagi-lagi berperan penting memuluskan kejahatan tersebut.
Berbagai temuan dan pengungkapan kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar dalam tiga tahun terakhir bagai pesan berantai yang menekankan bahwa Kalbar boleh jadi dalam radar pelaku TPPO dan TKI ilegal. Benarkah Kalbar kini darurat TPPO dan TKI ilegal. Ungkapan inilah yang di dengungkan SBMI di Kalbar yang seharusnya jadi perhatian serius para pemangku kebijakan di daerah dan pusat.
Fakta lain, pada 12 Juni 2019, Ditkrimum Polda Kalbar bersama Imigrasi Pontianak dan Kanwil Kemenkumham Wilayah Kalbar kembali mengungkap kasus TPPO dengan modus kawin kontrak di sebuah rumah mewah di kawasan Pontianak Selatan.
Pemilik rumah, korban dan sejumlah WNA asal Tiongkok kemudian digelandang ke Polda Kalbar. Hasil penyidikan, Polisi menetapkan pemilik rumah sebagai tersangka. Sementara, 7 WNA asal Tiongkok dilimpahkan ke Imigrasi Kelas Satu Pontianak dan di amankan di ruang Detensi. Ketujuh WNA RRC itu disinyalir melanggar UU keimigrasian dan terancam dideportasi.
Kasus TPPO dan TKI ilegal di Kalbar bagai gunung es yang tampil di permukaan. Sementara, dalam kelangsungan pelayanan publik di Imigrasi Wilayah Kalbar, ternyata hingga akhir Mei 2019 Kalbar dalam ranking 10 besar dengan data 211 dalam hal menolak penerbitan paspor WNI. Penolakan tersebut dilakukan di imigrasi Sambas, Singkawang, Pontianak, dan Sanggau.
Data tersebut memang jauh menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni 402 pemohon yang ditolak pada tahun 2018, yang telah menempatkan Kalbar pada ranking kedua secara nasional di bawah Medan, Sumut yang menimbulkan keprihatinan Kalbar dalam darurat TPPO.
Mencermati kasus TPPO dan TKI di Kalbar, Wakil Ketua Himpunan Psikolog Wilayah Kalbar, Yulia Ekawati Tasbita mengurai bahwa kawin kontrak dan iming-iming rupiah yang menjadi modus operandi oknum pelaku TPPO hingga kini menyisakan cerita duka memilukan. Bahkan di antara keluarga korban masih menaruh harapan korban dapat kembali ke Tanah Air dan berkumpul sedia kala bersama orangtua dan saudara.
"Saya kira memang kasus TPPO dan TKI ilegal ini sangat rentan terjadi di sejumlah daerah di Kalbar. Motif ekonomi, pendidikan rendah, minimnya pengetahuan dan keterbatasan informasi menjadi faktor penyebabnya. Tapi saya kira diperlukan instrumen penting, sinergi preventif guna mencegah, bahkan penindakan tegas. Ironis memang, apalagi umumnya korban TPPO dan TKI ilegal ini umumnya adalah perempuan dan usia bawah umur," tutur Yulia.
"Ke depan juga perlu dipertimbangkan bagaimana kelanjutan upaya pendampingan dan pemulihan terhadap korban TPPO, khususnya wanita bawah umur. Ini peting agar psikis dan kejiwaan korban tidak terganggu dan korban perlu kita dorong agar memiliki masa depan dalam meniti kehidupannya," tambah dia.
Secara prinsip, menurut Yulia dibutuhkan komitmen bersama sebagai bentuk pertanggungjawaban moral pihak terkait. Baik yang terlibat langsung dalam proses pengurusan administrasi kependudukan, mulai dari RT, tokoh agama dan tokoh masyarakat, Kepala Desa, Dinas Catatan Sipil, misalnya.
"Instrumen penting sebagai mitra dan perpanjangan tangan pemerintah inilah menurutnya tidak boleh abai dan kebobolan. Sehingga malapraktik administrasi dan nama-nama pejabat penting yang berwenang benar-benar bersih dari segala bentuk manipulasi dan pemalsuan dokumen yang dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Personal dan sindikat
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris SBMI Kabupaten Mempawah, Iswandi menekankan tidak ada lagi yang mengabaikan kelangsungan pengurusan administrasi masyarakat di birokrasi terkait kependudukan. Berdasarkan temuan dan konfirmasi SBMI pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kabupaten Mempawah dan Kota Pontianak, masih ditemukan pemalsuan penerbitan surat-surat penting.
"Meski telah membantah secara tegas, pejabat berwenang pada dinas terkait hendaknya lebih teliti dalam menandatangani, menerbitkan perihal administrasi kependudukan pemohon, surat domisili, KTP, akta nikah dan sebagainya. Jangan ada celah untuk oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab," ucap Iswandi.
Iswandi menilai Kalbar saat ini boleh jadi dalam situasi darurat TPPO. Terlepas apakah praktik tersebut dimainkan secara personal atau sindikat.
"Harus diakui Kalbar memang masih sangat rawan kejahatan TPPO. Terbukti, hampir setiap tahunnya kasus TPPO dengan modus kawin kontrak terjadi berulang di berbagai kabupaten/kota di Kalbar," ucapnya.
Dalam hal penindakan hukum, Polda Kalbar menyatakan telah banyak mengungkap kasus TPPO dan persoalan TKI ilegal di Kalbar. Kapolda Kalbar Irjen Pol. Didik Haryono menegaskan pihaknya telah memetakan sejumlah zona merah yang di duga menjadi kelangsungan praktik TPPO.
"Sudah kita petakan sejumlah wilayah-wilayah itu. Singkawang, Sungai Duri, Mempawah dan Sanggau ini zona yang cukup rawan TPPO. Kita minta peranan aktif semua elemen di masyarakat, termasuk rekan-rekan media dalam memberikan informasi yang akurat untuk kita tindaklanjuti laporannya," ucap Kapolda.
Menindaklanjuti kasus tujuh orang WNA asal Tiongkok yang bermasalah dan telah dilimpahkan Polda Kalbar ke Imigrasi Kelas I Pontianak, terkonfirmasi jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan keimigrasian maka WNA RRC tersebut dapat dipidanakan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Hal itu ditegaskan pihak Kanwil Kumham Kalbar.
"Akan kita tuntaskan pemeriksaannya paling lama dalam minggu ini," jelas Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kumham Kalbar, Husni Thamrin.
Berdasarkan laporan Inteldak Imigrasi Kelas I Pontianak, beber Husni, pihaknya juga belum dapat membuat kesimpulan. Apakah tujuh orang WNA asal RRC yang diamankan merupakan kelompok atau sindikat TPPO dengan modus kawin kontrak.
"Duduk masalahnya belum selesai. Tapi pada akhirnya nanti apakah mereka di deportasi atau penyelesaian melalui peradilan. Akan kita sampaikan nanti kesimpulannya setelah dokumen-dokumen WNA tersebut kita terima dan periksa. Akan kita beberkan. Mohon bersabar rekan-rekan media," ujar Husni.
Disinggung maraknya wanita di Kalbar yang melakukan pernikahan dengan WNA dari RRC, menurut Husni hal tersebut cukup wajar. Ia menilai terjadinya asimilasi melalui pernikahan wanita WNI keturunan Tionghoa dengan WNA RRC misalnya, jika dilihat dari kultur masih memiliki kesamaan.
"Selain kultur etnisnya tidak jauh berbeda, faktor biaya murah bisa saja. Akan tetapi jika pascapernikahan tersebut terjadi, lantas si wanita WNI tersebut dibawa ke RRC kemudian diperlakukan dengan tidak baik sudah tentu itu bermasalah dari awal," tegas Husni.
Husni menegaskan, upaya imigrasi Wilayah Kalbar sendiri dalam mengeliminir TPPO sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2011 dengan memperketat pengawasan jalur lintas dan internal. Terhadap pemohon wanita usia muda yang membuat paspor, misalnya, secara tegas dilakukan penundaan pemberian paspor.
"Bahkan kita lakukan penundaan berangkat terhadap pemohon. Ini yang kita lakukan dalam mengeliminir TPPO. Apalagi berangkat dan bekerja secara ilegal, sudah jelas itu indikasinya TPPO. Jadi semua pengawasan terkait TPPO dan TKI ilegal ini sebenarnya sudah kita perketat," jelas Husni.
Persoalan TPPO dengan modus kawin kontrak dan TKI ilegal secara ekonomis harus diakui menjadi lahan bisnis para pelaku. "Benefit" atau nilai keuntungan yang didapat serta peluang yang cukup besar di wilayah Kalbar, yang didukung dengan kondisi sosial, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya merupakan alasan yang sulit ditolak bagi kalangan ekonomi rendah.
Peran orangtua, tokoh masyarakat, pemuka agama dinilai penting untuk dapat membentengi lingkungan sosial. Kepekaan sosial itu penting dicanangkan dan akan semakin kuat jika terbangun sinergitas bersama pemerintah setempat dan Bhabinkamtibmas sebagai aparatur berwenang. Sehingga daya tangkal dalam mencegah terjadinya TPPO dan TKI ilegal ataupun keberadaan WNA di lingkungan dapat dicegah dan ditindaklanjuti sesuai aturan yang berlaku.