Pontianak (ANTARA) - Rendahnya tingkat pendidikan dan problema faktor ekonomi menjadi faktor pendorong perempuan mau dijadikan objek praktek kawin kontrak di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat, Alik Rosyad di Pontianak, Selasa mengatakan dari beberapa kasus perdagangan orang di provinsi itu di antaranya dipengaruhi faktor ekonomi selain rendahnya tingkat pendidikan korban.
"Atas dorongan dan himpitan ekonomi, korban sangat mudah terpedaya masuk dalam kategori perdagangan orang dengan berbagai modus oleh pelaku, salah satunya kawin kontrak dengan warga negara asing asal Tiongkok yang baru-baru ini diungkap oleh jajaran Imigrasi Kelas I Pontianak dan Ditreskrimum Polda Kalbar," ucapnya.
Selain faktor ekonomi, faktor rendahnya tingkat pendidikan korban juga sangat berkorelasi. Kembali, korban mudah terperdaya karena ketidaktahuan dan lainnya, sehingga dengan mudah dibujuk rayu oleh pelaku perdagangan orang.
"Kami harapkan sanksi hukum terhadap pelaku perdagangan orang lebih berat lagi, sehingga menjadi efek jera dan perhatian bagi calon pelaku lainnya, untuk berbuat hal serupa yang hanya merugikan korban," katanya.
Hingga tahun 2019, sudah terjadi beberapa kali kasus terkait anak sebagai korban, saksi atau pelaku. Hanya saja untuk pengaduannya belum pihaknya terima.
Namun menurutnya dari waktu sebelum-belumnya, dari beberapa kasus pengaduan yang masuk pihaknya melakukan pendampingan terhadap korban. Berbagai upaya pendampingan dilakukan KPPAD Kalbar.
"Kita melakukan pendampingan termasuk soal hukum. Kita masuk untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan semestinya, termasuk pendampingan di persidangan. Kita ingin persoalan yang ada ditangani dengan baik dan benar-benar sesuai prosedur yang ada," ujarnya.
Baca juga: Polda-Imigrasi Kalbar bongkar sindikat perdagangan orang modus kawin kontrak
Pendampingan yang dilakukan pihak KPPAD Kalbar, seperti pendampingan psikologi terhadap korban untuk menghilangkan trauma dan dapat beraktivitas tanpa merasa tertekan dampak dari yang dialaminya tersebut.
Pendampingan dilakukan juga untuk memastikan korban bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya seperti biasa.
"Secara umum, untuk kasus perdagangan orang termasuk kasus yang dialami anak di dalamnya perlu perhatian semua pihak.Keluarga terdekat, pemerintah daerah dan siapa pun untuk sama-sama peduli untuk hal ini. Kita juga terus berkomitmen untuk melakukan pendampingan dan upaya lainnya sebagaimana tugas dan fungsi kami," kata Alik.
Kota Singkawang, Sui Pinyuh, Mempawah serta Kota Pontianak merupakan salah satu kota yang rawan dengan TPPO (tindak pidana perdagangan orang) berdasarkan dari berbagai sumber, seperti Bareskrim, Kemensos, Disnakertrans, dan BNP2TKI, hal itu disebabkan beberapa faktor, salah satunya pendidikan, ekonomi dan juga faktor banyaknya yang ingin bekerja di luar negeri.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Magdalena Sitorus mengatakan praktik tindak pidana perdagangan orang berkedok kawin kontrak yang terungkap di Kota Pontianak, Kalbar belum lama ini, merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan.
"Tidak hanya faktor ekonomi, kasus tersebut juga perlu dilihat sebagai kasus eksploitasi terhadap perempuan yang melihat perempuan sebagai objek. Perempuan merupakan salah satu kelompok rentan, selain anak-anak. Perempuan kerap kali dieksploitasi dengan memanfaatkan kerentanan yang dimiliki tersebut," ujarnya.
Dalam tindak pidana perdagangan orang, ada pihak-pihak yang berusaha mengeksploitasi perempuan untuk mendapatkan keuntungan. "Bisa jadi kemiskinan merupakan salah satu bentuk kerentanan yang dimiliki perempuan dan itu dimanfaatkan dalam kasus di Kota Pontianak," tuturnya.
Namun, Magdalena melihat kemiskinan materi tidak hanya menjadi satu-satunya faktor dalam kasus tersebut. Ada kemiskinan pengetahuan dan informasi yang terjadi pada perempuan-perempuan yang menjadi korban.
"Mereka tidak tahu dampak dari praktik kawin kontrak sehingga mereka mudah ditipu, dijanjikan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik," katanya.
Karena miskin pengetahuan dan informasi, mereka tidak melihat ada bahaya kemungkinan dieksploitasi dalam praktik kawin kontrak yang menjadi kedok tindak pidana perdagangan orang tersebut.
Rumah mewah
Polda Kalbar, kini telah menetapkan pemilik rumah di Jalan Purnama, Komplek Surya Purnama, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak yang merupakan tempat sindikat perdagangan orang, berinisial AMW sebagai tersangka kasus dugaan perdagangan orang dengan modus kawin kontrak.
"Dari hasil pemeriksaan sementara tersangka AMW diduga kuat sebagai perantara, penampung, dan yang mengurus semua administrasi yang diperlukan," kata Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Donny Charles Go.
Tersangka dari hasil pemeriksaan sementara diduga kuat sebagai sebagai perantara antara laki-laki warga negara asing (WNA) asal Tiongkok dengan perempuan (WNI) sebagai calon istri, dan menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan dalam menjalankan aksinya.
Tersangka diancam dengan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Untuk ketujuh WNA asal Tiongkok yang diamankan tersebut, saat ini penanganan selanjutnya ditangani oleh pihak Imigrasi Kelas I Pontianak, karena mereka masuk ke Indonesia dengan izin tinggal atau visa wisata selama 30 hari.
Sebelumnya, petugas Imigrasi Kelas I Pontianak dan Ditreskrimum Polda Kalbar berhasil membongkar dugaan sindikat perdagangan orang dengan modus kawin kontrak, Rabu malam (12/6), dalam kasus itu ada sembilan orang yang diamankan, yakni masing-masing tujuh warga negara asing (WNA) asal Tiongkok, dan dua warga negara Indonesia, satu diantaranya seorang perempuan (WNI).
"Keenam laki-laki warga negara Tiongkok dari hasil pemeriksaan mengakui, kalau kedatangan mereka ke Kalbar untuk mencari perempuan yang akan dijadikannya istri," katanya.
Kepala Seksi Wasdakim Kantor Imigrasi Kelas I Pontianak, Syamsuddin mengatakan, sebanyak tujuh orang WNA asal Tiongkok kembali akan menjalani pemeriksaan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Pontianak, untuk mengetahui tujuan utama mereka ke Kota Pontianak.
"Ketujuh orang asing yang terdiri dari enam orang laki-laki dan satu wanita tersebut masih menunggu proses perpanjangan paspor di Jakarta. Sekarang lagi dalam proses karena belum selesai dan paspornya juga belum dikirim ke Pontianak, sehingga untuk sementara kami masih menunggu," ujarnya.
Menurut dia, dari hasil pemeriksaan, para WNA tersebut menggunakan visa kunjungan selama 30 hari ke Indonesia. "Saat ini, ketujuh orang asing itu dititipkan di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) Kelas I Pontianak, sambil menunggu proses lebih lanjut," katanya.
Baca juga: Tujuh WNA diduga terkait kawin kontrak diperiksa
Masalah ekonomi picu praktik kawin kontrak di Kalbar
Selasa, 18 Juni 2019 22:50 WIB