Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengatakan pembasahan dan pembenahan ekosistem gambut harus ditingkatkan dengan guna mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut yang berulang di Indonesia.
"Idealnya pembasahan dan pembenahan ekosistem harus lebih kuat. Bisa dibilang kerja kami saat ini hanya emergency mode (mode darurat), sementara masalahnya itu skala multiple (berganda), mulai dari tata ruang tidak dihormati dan seterusnya," kata Nazir di Jakarta, Jumat, saat ditanya ANTARA tentang kebakaran lahan gambut dan kabut asap lintas batas.
Penanganan masalah itu, menurut dia, juga membutuhkan gebrakan sistematis dalam skala luas yang didukung perubahan tata ruang.
Baca juga: Badan Restorasi Gambut siapkan operasi pembasahan lahan gambut di Kalbar
Baca juga: BRG dan Kemitraan Partnership berikan bantuan alat pemadam kebakaran
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut dia, sudah mengeluarkan beberapa peraturan menteri terkait Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan neraca air, meski masih ada yang mengkritisi penanganan KHG menjadi parsial dengan menekankan perubahan di bagian Rencana Kerja Usaha (RKU) berdasarkan area konsesi.
Nazir mengatakan, butuh waktu bertahun-tahun untuk merestorasi ekosistem gambut, tidak akan bisa selesai tahun 2020. Sementara upaya yang dijalankan BRG saat ini hanya bersifat jangka pendek.
"Dan tidak semua akan happy (senang) untuk itu. Harus pelan-pelan memang," kata Nazir soal hasil restorasi gambut.
Ia mengatakan, restorasi lahan gambut harus memperkuat kapasitas masyarakat yang hidup di lahan gambut dan membawa dampak ekonomi positif bagi mereka.
Baca juga: Masyarakat harus jaga infrastruktur pembasahan gambut
Baca juga: Badan Restorasi Gambut ingatkan tahun 2019 iklim cuaca lebih kering
Sebelumnya Direktur Walhi Jambi Rudiansyah mengatakan fungsi dari pembangunan atau cara kerja rewetting, revegetation, revitalization (3R) untuk pemulihan gambut tidak pernah melihat tata kelola wilayah gambut.
Di Jambi, menurut dia, 70 persen lahan gambut sudah berizin dan izin pengelolaannya sebagian besar dipegang oleh industri besar.
Monopoli air pun, menurut dia, terjadi saat musim kemarau seperti sekarang, ketika para pemegang konsesi menutup kanal mereka agar area gambutnya basah sementara lahan masyarakat di sekitarnya tidak dapat air.
Baca juga: BRG Kalbar Fokuskan Tiga Hal Restorasi Gambut
"Kebijakan restorasi gambut harus diperkuat karena, BRG saat ini seperti macan ompong. Konsesi punya tanggung jawab restorasi tapi BRG tidak bisa menekan. Secara dokumen ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang konsesi melakukan restorasi. Tapi itu seperti kitab putih tidak bisa dibuka umum,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mendesak pemerintah untuk membuka lokasi konsesi di lapangan untuk memudahkan pemantauan.
"Sekarang ini kita kesulitan mencari, misalkan yang terbakar itu konsesi siapa, afiliasinya dengan yang mana. Ini juga menyulitkan proses penegakan hukum," katanya.