Jakarta (ANTARA) - 20 Januari nanti bukan hanya menjadi akhir dari pemerintahan Donald Trump, tetapi juga bakal menjadi akhir karir politik presiden Amerika Serikat itu yang mungkin untuk selamanya.
Hal ini terjadi salah satunya karena sikap kontroversial dia yang mencapai puncaknya dalam bulan-bulan terakhir pemerintahannya, mulai dari menyangkal pandemi, sampai tak mau mengakui kalah Pemilu 3 November karena merasa dicurangi dan himbauan kepada pendukungnya agar mendatangi Capitol Hill guna menekan para senator dan anggota DPR dari Republik supaya menolak sertifikasi kemenangan Joe Biden.
Dalam sejarah AS tak ada pemimpin yang kalah pemilu yang tidak menyelamati pemenang untuk kemudian berpesan bahwa persatuan nasional di atas segalanya, kecuali Trump.
Bahkan ketika pemerintah-pemerintah dan pengadilan-pengadilan di beberapa negara bagian medan pertarungan suara pemilu 3 November lalu, serta mahkamah agung yang enam dari sembilan hakimnya merupakan hakim-hakim konservatif pilihan Partai Republik menolak gugatan kecurangan pemilu, Trump ngotot menuding Demokrat telah merampok pemilu.
Dia menekan sejawat-sejawatnya di Partai Republik mulai dari tingkat negara bagian sebagai mereka yang duduk di Senat agar tidak mensertifikasi kemenangan Biden, sampai kemudian timbul insiden amat mencoreng AS ketika Kongres diduduki paksa para pendukung Trump.
Buah instan dari kerusuhan yang terjadi di Capitol ini adalah mundurnya orang-orang kepercayaan Trump di Gedung Putih.
Trump membanggakan diri sebagai calon presiden dari Republik yang mendapatkan suara terbanyak sepanjang sejarah ketika dikalahkan Joe Biden.
Dia merasa 74,2 juta pemilihnya atau 46,9 persen total pemilih pada pemilu November itu adalah bukti rakyat mencintai dan menginginkan dia sehingga kemenangan Biden dianggapnya tak lebih dari laku curang.
Namun Trump lupa, jumlah penduduk negaranya, sebagaimana kebanyakan negara lainnya, pasti bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Angka 74,2 juta popular vote atau suara pemilih tetaplah kalah besar dari 81,2 juta suara yang diraih Biden. Mereka berselisih 4,46 persen. Dan selisih itu mempertegas kekalahan Trump dalam suara elektoral. Dia kalah 70 suara elektoral dari Biden karena sang presiden terpilih memperoleh 306 suara elektoral sedangkan Trump mendapatkan 232 suara elektoral.
Selisih popular vote 4,46 persen itu pun jauh di bawah selisih kekalahan yang dialami Richard Nixon dari John F. Kennedy pada pemilu 1960 yang hanya 0,17 persen suara. Juga masih di bawah selisih 2,06 persen saat Gerald Ford kalah dari calon Demokrat Jimmy Carter pada pemilu 1976, serta Mitt Romney yang kalah dari Barack Obama pada pemilu 2012 dengan selisih popular vote 3,86 persen.
Itu masih ditambah oleh fakta yang terjadi dalam sejarah pemilu AS di mana nyaris tidak ada presiden yang kalah pada pemilu untuk masa jabatan keduanya yang bisa memenangkan pemilu berikutnya.
Bahkan salah satu presiden yang cuma bisa memerintah satu periode pemerintahan, George H.W. Bush (ayahanda George W. Bush), tak lagi dicalonkan setelah kalah dari Bill Clinton pada pemilu 1992.
Selanjutnya: Trump egois
Egoistis
Itu baru dari sudut statistik politik di AS. Dari perspektif yang lebih hakiki seperti latar belakang norma demokrasi, Republik kemungkinan besar tak akan lagi memilih Trump guna menghadapi Joe Biden atau Kamala Harris atau siapa pun dari Demokrat nanti pada pemilu 2024.
Itu bukan saja karena sudah terlalu banyak tokoh Republik yang lelah oleh sepak terjang Trump, namun juga karena langkah-langkah Trump sendiri kian merusak citra Republik, terutama dalam menjaga kemajemukan dan kepantasan demokrasi yang tak ditunjukkan oleh Trump.
Untuk itulah pada pemilu November lalu ratusan tokoh Republik balik badan tak mau mendukung Trump. Ini termasuk mantan presiden George W. Bush dan dua mantan menteri luar negeri Condoleezza Rice dan Colin Powell.
Ketika Trump tak mau mengakui kekalahan atas Biden dan malah menuding pemilu telah dicurangi, daftar tokoh Republik yang sikapnya berseberangan dengan dia kian banyak saja.
Bahkan itu termasuk sejumlah gubernur dari Republik seperti Gubernur Massachusetts Charlie Baker dan Gubernur Maryland Larry Hogan, selain juga para senator dan anggota DPR dari Republik, serta para mantan tokoh Republik terkenal seperti Senator Mitt Romney, Senator Marco Rubio, Senator Susan Collins, mantan ketua DPR Paul Ryan, mantan penasihat keamanan John Bolton dan mantan wakil presiden Dan Quayle.
Tetap saja, semua itu tak membuat Trump surut menuding pemilu telah dicurangi tanpa disertai bukti. Dia bahkan bagai banteng ketaton melabrak sekutu-sekutunya sendiri di Partai Republik, termasuk Wakil Presiden Mike Pence dan Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnel.
Dia menekan para gubernur dan pejabat teras di beberapa negara bagian medan tempur yang menentukan kemenangan pemilu seperti Wisconsin, Pennsylvania, Arizona, dan Georgia agar tak mensertifikasi hasil pemilu.
Dan ketika partainya berjuang habis-habisan di Georgia guna memenangkan pemilu Senat putaran kedua awal Januari ini yang menentukan komposisi Senat yang amat penting bagi Republik dan sangat menentukan operasi pemerintahan Biden nanti, Trump tetap egoistis dengan tak mengajak warga Georgia berduyun-duyun ke bilik suara guna memenangkan dua kursi Senat dari negara bagian ini.
Dia malah mengoceh soal pemilu curang yang justru membuat pemilih Republik enggan menyalurkan suara karena merasa tak ada gunanya karena tokh nanti dicurangi. Manuver Trump ini menyulitkan partainya bergerak di Georgia yang malah sejak lama menjadi basis suara Republik.
Tak heran sebelum pemilu putaran kedua di Georgia digelar, sejumlah tokoh Republik mengatakan seandainya mereka kalah maka orang yang paling pantas disalahkan adalah Trump.
Dan dua petahana dari Republik pun, yakni senator Kelly Loeffler dan senator David Perdue, tersungkur di tangan dua calon Demokrat, yakni Raphael Warnock dan Jon Ossoff.
Bahkan kekalahan di Georgia ini tak menghentikan Trump untuk menuding pemilu curang, sampai-sampai dia menganjurkan pendukungnya menyerbu Capitol untuk menekan anggota Kongres dari Republik agar tidak mensertifikasi hasil pemilihan presiden lalu.
Selanjutnya: Trump memalukan
Memalukan
Dan proses yang biasanya formalitas pun berubah menjadi episode menegangkan tapi juga amat memalukan AS di mana untuk pertama kalinya gedung Kongres diduduki demonstran.
Rusuh di Capitol itu mempermalukan dan mencoreng AS. Tapi tekanan massa anarkis tak membuat kecut Kongres sehingga sertifikasi kemenangan Biden pun disegel dengan 306 mendukung dan 232 menentang. Artinya, 30 anggota Kongres dari Republik mendukung sertifikasi itu.
Negara yang menjadi rujukan demokrasi di seluruh dunia itu pun mengalami chaos pemilu yang tak pernah terjadi pada negara demokrasi semapan AS. Amerika pun menjadi bahan olok-olok seisi dunia.
Kerusuhan di Capitol itu juga menjadi awal bagi tutupnya tirai karir politik Trump yang mungkin untuk selamanya.
Dia akan sulit dicalonkan lagi untuk Pemilu 2024 karena terlalu banyak luka politik yang dibuatnya selain juga menjadi perjudian besar jika Republik masih memilih dia untuk pemilu berikutnya.
Sudah terlalu banyak yang tercederai oleh Trump, termasuk minoritas kulit hitam yang kecewa berat menyaksikan perlakuan pilih kasih aparat pemerintahan Trump dalam menangani demonstrasi di Capitol sampai atlet dan liga-liga olahraga AS seperti NBA pun bereaksi keras.
Mereka menjadi kian yakin Trump itu rasis, tak peduli minoritas, dan hanya mementingkan diri sendiri sehingga tak malu memanipulasi mandat dari rakyat.
Trump sudah mengotori prinsip ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ seperti dipesankan salah satu presiden terbesar negara itu, Abraham Lincoln.
Dia tidak ngotot berkuasa karena alasan kebebasan, keadilan, persaudaraan, dan kesetaraan yang menjadi spirit Amerika, melainkan semata demi menurutkan nafsu buas berkuasa.
Pemilu bebas yang menjadi salah satu empat unsur penting dalam demokrasi AS telah ditampar oleh Trump dengan cara tak menghormati hasil pemilu dan pilihan rakyatnya sendiri.
Namun ada yang bisa dipetik dari dinamika yang terjadi di AS itu bahwa demokrasi Barat masih menjadi salah satu yang terbaik karena sigap memperbaiki kekeliruan yang diakibatkan proses demokrasi sebelumnya sehingga tak mengulang kisah lahirnya tokoh-tokoh seperti Adolf Hitler yang awalnya dilahirkan dari proses pemilu demokratis.
Masyarakat demokratis yang kian madani dan kian mapan serta institusi demokrasi yang kian kuat juga telah mencegah tokoh-tokoh yang ternyata antidemokrasi berkuasa atau mengoreksi kekeliruan yang sudah terlanjur terjadi seperti dilakukan rakyat AS terhadap Trump.
Akhir karir politik Donald Trump
Jumat, 8 Januari 2021 11:14 WIB