Pontianak (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat (Kalbar), Selasa, menahan enam tersangka kasus dugaan pemberian fasilitas kredit pengadaan barang dan jasa pada salah satu bank milik pemerintah daerah di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalbar.
"Penahanan enam tersangka itu merupakan pengembangan dari kasus sebelumnya yang sudah ditangani atau disidangkan," kata Kepala Kejati Kalbar Masyhudi, di Pontianak.
Dia menjelaskan bahwa terdapat 31 perusahaan atau 74 paket pekerjaan memperoleh kredit pengadaan barang atau jasa (KPBJ) dari salah satu bank di Bengkayang, dengan jaminan atau agunan berupa Surat Perintah Kerja (SPK) yang ditandatangani oleh HM seolah-olah selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang kini sudah diputus di Pengadilan Negeri (PN), kemudian tersangka Sup (1 SPK) dan Gun (73 SPK) selaku Pengguna Anggaran Kemendes PDTT dan pihak perusahaan yang bersangkutan.
Tersangka PP selaku pelaksana pekerjaan bersama-sama dengan tersangka lainnya mempersiapkan dokumen-dokumen kontrak, SPK, dan mengurus permohonan kredit dengan jaminan SPK atas empat perusahaan tersebut, yaitu CV Batu Timah, CV Bima Borneo Mandiri, CV Dellis, dan CV Putra Kalbar yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
Di dalam SPK dicantumkan tentang sumber anggaran proyek, yaitu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KPDTT), namun DIPA tersebut ternyata fiktif.
Keenam tersangka baru yang hari ini dilakukan penahanan, yakni tersangka berinisial K selaku Direktur CV Dellis menerima dana kredit pengadaan barang atau jasa (KPBJ) sebesar Rp339,6 juta untuk tiga paket pekerjaan, kemudian tersangka JDP selaku Direktur CV Bima Borneo Mandiri menerima dana KPBJ sebesar Rp 339,6 juta yang juga untuk tiga paket pekerjaan.
Kemudian, tersangka S selaku Direktur CV Batu Timah yang menerima dana KPBJ sebesar Rp339,7 juta untuk tiga paket pekerjaan, dan tersangka DWK selaku Direktur CV Pantura Kalbar menerima dana KPBJ sebesar Rp226,8 juta untuk dua paket pekerjaan. Lalu tersangka PP menerima seluruh dana kredit dari empat perusahaan penerima kredit tersebut, dengan alasan melaksanakan proyek di lapangan total sebesar Rp1,245 miliar, dan tersangka A selaku analis kredit pada sebuah bank di Bengkayang, katanya pula.
"Namun pembayaran atau pengembalian uang kredit tidak bisa dilaksanakan karena proyek tersebut (SPK dan DIPA) fiktif, sehingga akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah bank sebesar Rp8,2 miliar," ujarnya pula.
Dia menambahkan, dalam kasus tersebut, penyidik berhasil menyelamatkan kerugian negara atau melakukan penyitaan terhadap kerugian keuangan negara sebesar Rp1,5 miliar dan telah dititipkan di rekening titipan pada Bank Mandiri.
Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp8,8 miliar, perbuatan tersangka melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), (2), (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, katanya pula.