Jakarta (ANTARA) - Semakin keras agresi Rusia di Ukraina, semakin keras pula sanksi ekonomi Barat kepada Moskow.
Minggu 27 Februari negara-negara G7 yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat memastikan Barat telah memutuskan menutup akses "sejumlah bank Rusia" kepada sistem komunikasi antarbank seluruh dunia yang disebut SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
SWIFT bisa menjadi instrumen sanksi ekonomi terdahsyat yang dijatuhkan Barat kepada Rusia menyusul invasi ke Ukraina.
G7 juga menyatakan telah menyiapkan sebuah gugus tugas lintas Atlantik yang akan mengkoordinasikan sanksi kepada Rusia.
Dengan begitu, dibandingkan sanksi kepada Rusia menyusul aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014, maka sanksi kali ini bakal dijalankan dengan jauh lebih terkoordinasi.
Didirikan pada 1973 dan berbasis di Belgia, SWIFT menautkan 11.000-an bank dan lembaga di lebih dari 200 negara. Ini adalah arteri keuangan global yang membuat transfer uang lintas batas berjalan lancar dan cepat.
Anda tak punya akses ke sini, maka transfer keuangan, modal dan investasi lintas batas yang Anda punya akan tersumbat.
Itu sama artinya Anda mengalami kesulitan akut dalam melakukan pembayaran dan pembelian lintas batas.
Dan itu bisa termasuk saat Anda menjual atau membeli valuta asing yang sangat instrumental bagi bank sentral di seluruh dunia dalam menjaga sistem moneter, termasuk memastikan stabilitas cadangan devisa yang sering digunakan untuk mengintervensi pasar uang tatkala pergerakan nilai tukar tak terkendali.
Oya, jauh sebelum invasi Ukraina, Rusia rupanya sudah bersiap dengan belajar dari sanksi Barat usai mereka menganeksasi Krimea pada 2014.
Guna menangkal sanksi jauh lebih keras, pemerintahan Presiden Vladimir Putin telah bersiap dengan mengumpulkan cadangan devisa luar biasa besar sebanyak 630 miliar dolar AS. Ini diyakini dapat menangkal skenario krisis ekonomi terburuk, paling tidak untuk jangka pendek.
Rusia juga memangkas ketergantungan dari dana luar negeri sampai porsi utangnya pun hanya 20 persen dari PDB mereka. Sanksi Barat terkait Krimea rupanya malah membuat Rusia berkesempatan membangun ekonomi secara berdikari.
Saking percaya dirinya dengan formasi cadangan devisa dan porsi utang luar negeri itu, bank terbesar Rusia, Sberbank, sesumbar bahwa sistem finansial sudah siap menghadapi segala kemungkinan terburuk, dan siap melindungi sumber daya, asset dan kepentingan konsumen. Pertahanan keuangan ini mereka sebut fortress Russia atau benteng Rusia.
Namun para analis ragu benteng ini mampu menghadapi sanksi seberat seperti menutup akses SWIFT.
Mereka justru percaya pemblokiran SWIFT bakal membatasi kemampuan Bank of Russia yang adalah bank sentral Rusia, dalam menggunakan cadangan devisa sebesar 630 miliar dolar AS.
Dan itu bukan mempengaruhi bank sentral dalam menyangga perbankan dan korporasi dari dampak buruk sanksi Barat, tetapi juga bisa mempengaruhi kemampuan bank sentral dalam mengintervensi pasar uang guna menghindarkan kejatuhan mata uang rubel.
Selanjutnya: soverign wealth fund tiba-tiba raib
Memicu rush
Sergey Aleksashenko, mantan deputi gubernur Bank of Russia yang kini tinggal di AS, menyebutkan Rusia bakal menyaksikan soverign wealth fund (dana investasi khusus milik negara) kepunyaannya tiba-tiba raib.
"(Presiden Vladimir) Putin dan (mantan menteri keuangan Alexei) Kudrin bertahun-tahun memperkuat ini karena merencanakan sebuah perang besar," kata Aleksashenko seperti dikutip Reuters. "Kini perang sudah terjadi dan ternyata tak ada uang."
Di pasar keuangan sendiri, dampak penutupan akses SWIFT ini langsung nyata.
Di bursa Tokyo hari ini, Senin 28 Februari 2022, nilai kurs rubel terhadap dolar AS amblas 20 persen, sekalipun sejumlah mata uang Barat juga tumbang tapi tidak sedalam rubel.
Sentimen Tokyo ini hampir pasti menjalar ke Sydney, Hong Kong, dan Singapura yang jam buka bursanya berdekatan dengan Tokyo.
Akhirnya itu akan menciptakan sentimen serupa di bursa-bursa Eropa termasuk London dan Frankfurt, serta akhirnya Wall Street di New York yang menjadi benchmark pasar modal dan keuangan dunia.
Sejumlah analis pasar, di antaranya Roman Borisovich yang mantan bankir investasi Moskow, menyatakan pasar keuangan bakal bergejolak Senin ini.
Dia yakin otoritas Rusia tak bisa menghindarkan kejatuhan rubel. Namun mereka diperkirakan menghentikan perdagangan dan kemudian menjaga stabilitas rubel secara artifisial dengan cara tak lagi mengambangkan mata uangnya itu. "Tetapi ini menciptakan pasar gelap," kata Borisovich.
Di dalam negeri Rusia sendiri, sentimen SWIFT menciptakan rush di ATM-ATM. "Sejak Kamis lalu semua orang berburu ATM satu ke ATM lain untuk menarik uang. Ada yang beruntung, ada yang tidak," kata warga St Petersburg bernama depan Pyotr seperti dikutip Reuters.
Bank-bank Rusia seperti bank milik negara Sberbank berusaha menenangkan keadaan dengan mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari pasokan tunai dan pembayaran online.
Bank VEB yang juga milik negara, memastikan sanksi tak akan menghentikan bank ini dalam membiayai proyek-proyek dalam negeri Rusia, sedangkan bank Otkritie yang di-bailout pada 2017 menjamin kartu ATM dan kartu kredit bank ini masih bisa dipakai di luar negeri.
Ironisnya, bank sentral Rusia menyarankan penduduk tak menggunakan kartu bank karena sistem pembayaran mobile di semua terminal atau toko online yang dioperasikan salah satu dari lima bank yang terkena sanksi terkeras Barat, sama sekali tak akan berfungsi.
Pemerintah Rusia sebenarnya jauh-jauh hari sudah memperkirakan hal ini. Untuk itu sejak lama mereka membangun sistem tandingan bernama System for Transfer of Financial Messages (SPFS).
Sistem ini mengirim sekitar 2 juta pesan pada 2020 atau seperlima dari lalu lintas internal keuangan Rusia. Sayang, SPFS yang hanya beroperasi selama hari kerja, kesulitan menarik anggota dari luar negeri.
Selanjutnya: SWIFT ibarat menembakkan senjata nuklir
Bisa ambruk
Penutupan akses SWIFT sebenarnya merugikan semua pihak, bahkan The Conversation menyamakan hal itu dengan "menembakkan senjata nuklir".
Tujuannya memang melumpuhkan ekonomi Rusia dan kemudian merusak kemampuannya dalam membiayai perang di Ukraina, tapi "senjata nuklir keuangan" ini juga merusak dunia secara keseluruhan.
Namun apa daya, karena Putin kian nekad, maka senjata nuklir keuangan itu pun diaktifkan.
Rusia kini bisa menghadapi ancaman ambruknya rubel, terhentinya operasional perbankan, hiperinflasi dan resesi besar, serta melonjaknya angka pengangguran.
Memang sistem perekonomian global juga bakal terdampak, tetapi Rusia bakal menjadi pihak pertama dan yang paling menderita akibat pengerahan senjata sanksi ekonomi paling maut itu.
Yang paling mengerikan adalah jika penutupan akses SWIFT itu mempengaruhi pula kemampuan bank sentral Rusia dalam mengakses ratusan miliar dolar AS dana dalam bentuk emas dan mata uang asing yang disimpannya di bank-bank sentral asing.
Itu bakal mempersempit ruang bank sentral Rusia dalam mengintervensi pasar uang, padahal ketika pasar uang buka lagi Senin ini semua orang seluruh dunia diperkirakan serempak melepas rubel, termasuk di dalam negeri Rusia.
Jika ini yang terjadi maka sistem keuangan Rusia akan terpukul hebat, bahkan ekonomi berdikari yang membuat Rusia sukses menghimpun cadangan devisa ratusan miliar dolar AS dan memangkas porsi utang sampai hanya 20 persen dari PDB, akan ikut tergerogoti.
Ini karena Rusia masih tergantung kepada sejumlah komoditas impor, termasuk chip komputer yang amat penting di antaranya untuk mengoperasikan mesin-mesin perang tercanggihnya.
Dan ketika impor komponen penting terhambat dan bersamaan dengan terhentinya kemampuan membayar impor karena akses pembayaran lintas batas ditutup, maka produksi dalam negeri pun terhenti.
Jika keadaan ini bertambah parah sampai tak bisa mengatasi defisit yang bisa tiba-tiba menggunung, maka Rusia akan terpaksa mencetak uang sehingga membuka pintu hiperinflasi.
Rusia pasti berharap sokongan ekonomi dari sejumlah negara tapi opsi ini terbatas, dengan hanya China yang paling bisa membantunya. Masalahnya, jika rubel sudah begitu dalam terdepresiasi, China mungkin tak mau lagi mengambil risiko.
Ketika semua ini terjadi, ekonomi Rusia pun di ambang ambruk. SWIFT itu pula yang pernah membuat Iran dan Venezuela tak bisa memanfaatkan minyaknya dan kemudian merusak kemampuan ekonomi mereka.
Tentu saja skala sanksi kepada Rusia jauh lebih besar ketimbang yang dijatuhkan kepada Iran dan Venezuela.
Rusia sendiri sudah memperkirakan skenario ini dan telah bersiap. Tapi apakah persiapan itu sudah cukup, jawabannya bakal terlihat pada hari-hari mendatang.
Yang pasti, lembar jawaban pertama sudah tersaji di pasar global mulai Senin ini.
Dan pergerakan harga di pasar keuangan global yang sejauh ini tak menguntungkan Rusia, kemungkinan besar terus bergerak berbanding tegak lurus dengan seberapa lama Rusia menginvasi Ukraina.
Akankah superioritas Rusia bertahan dari sanksi yang kian keras?
Senin, 28 Februari 2022 11:11 WIB