"Posisi matahari sudah bergeser meninggalkan ekuator, artinya pusat tekanan rendah sudah mulai bergeser. Dampaknya uap air dari wilayah selatan sudah mulai masuk dan uap air dari arah utara juga masih kuat," kata Eddy saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Dia menuturkan massa uap air dari Samudera Hindia yang luas (selatan Indonesia) dan massa uap air dari Pantai Utara Jawa (Pantura) serta sebagian Asia (utara Indonesia) bertemu pada kawasan Jawa Barat bagian barat.
Dua pertemuan massa uap air itulah yang membuat wilayah sekitarnya menjadi basah karena hujan.
Meski kedua massa uap air tersebut bertemu, kata Eddy, fenomena itu tidak membentuk pusaran angin.
"Apakah (hujan) hanya Jakarta? Tidak, karena sebagai besar itu nampaknya Sumatera Selatan hingga Sumatera bagian tengah, termasuk Padang, Pekanbaru, Padang Sidempuan, masih basah terutama Palembang dan Bandar Lampung," ujarnya.
Selain pertemuan dua massa udara dari selatan dan utara, nilai IOD yang sudah memasuki fase normal atau negatif perkuat fenomena hujan di Indonesia.
Eddy memandang tidak ada pengaruh El-Nino dan La-Nina. Hujan yang terjadi murni perpaduan antara nilai IOD yang mulai menuju fase negatif dan uap air.
"Intinya adalah kawasan kita merupakan daerah pusat tekanan rendah, sehingga banyak uap air yang masuk," ucap peneliti ahli utama BRIN itu.