Surabaya (ANTARA) - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur M Yasin menegaskan bahwa pembebasan pokok utang bagi wajib pajak yang tidak patuh akan mencederai 85 persen wajib pajak patuh yang selama ini berkontribusi bagi pembangunan.
"Selain itu, pembebasan pokok pajak juga dikhawatirkan menimbulkan moral hazard dan preseden buruk bagi wajib pajak patuh untuk meniru tidak membayar pajak dengan harapan juga mendapat penghapusan pokok pajak," katanya di Surabaya, Senin.
Menurut Wakil Ketua PW ISNU Jatim itu, pengambilan kebijakan harus hati-hati dan benar-benar memenuhi rasa keadilan serta harus berbasis data atau bukan berbasis akun/konten sosial, sehingga jangan sampai kedepannya berdampak pada pendapatan daerah yang dapat mengganggu pembangunan.
"PAD (pendapatan asli daerah) Jatim itu mencapai Rp16,7 Triliun dan 76,8 persen atau sebesar Rp12,8 Triliun berasal dari pajak daerah dengan 50,5 persen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), sehingga PKB memberi sumbangsih besar dalam pembiayaan pembangunan, yang sebagian besar juga untuk belanja penunjang urusan keselamatan jalan raya, belanja pendidikan dan kesehatan," katanya.
Ia menilai pajak merupakan instrumen keadilan sosial, yakni mereka yang berpenghasilan tinggi dan memiliki kekayaan tinggi, termasuk kendaraan bermotor, maka secara proporsional akan membayar pajak tinggi juga.
"Kebijakan Pemerintah Provinsi selama ini bukan pembebasan, tapi memberikan penghapusan denda dan biaya administrasi bagi wajib pajak yang memiliki tunggakan dan memberikan reward bagi wajib pajak patuh melalui undian umroh/tabungan bagi 50 wajib pajak patuh setiap tahun," katanya.
Selain itu, Pemprov Jatim juga memberikan kemudahan dengan membayar pajak dari manapun dan dimanapun melalui Samsat 4.0, Samsat BUMDesa di Desa-Desa dan Tanda Bukti Pelunasan Kewajiban Pembayaran (TBPKP) dikirim secara online berbasis QR Code.
"Untuk kebijakan afirmasi itu seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang beruntung, masyarakat miskin, terpinggirkan, marginal, bukan untuk masyarakat yang melanggar kewajiban/tidak taat pajak," katanya.
Sementara itu, ISNU Jatim menilai masyarakat belakangan ini mengalami "social comparison" atau dalam istilah psikologi disebut sebagai upaya membandingkan diri sendiri dengan orang lain, baik antarperson maupun antarnegara, padahal masalah setiap person/negara itu berbeda, sehingga upaya perbandingan itu sering tidak selevel.