Pontianak (ANTARA Kalbar) - Mengunjungi Pasar Serikin, di wilayah Sarawak yang berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, akan banyak ditemui pedagang yang menjual kerajinan tangan, antara lain tikar bidai, kursi, meja, tas tangan, maupun cindera mata skala kecil.
Pasar yang setiap akhir pekan ramai dikunjungi pedagang (mayoritas dari Indonesia) dan pembeli dari berbagai penjuru Malaysia itu, menjadi salah satu tempat penjualan yang terkenal hingga Semenanjung Malaysia.
Harga yang relatif terjangkau, produknya berkualitas baik, serta masih dapat saling tawar antara pembeli dan pedagang.
Produk kerajinan asal Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya pun menjadikan pasar tersebut sebagai salah satu media penjualan.
Akses menuju Pasar Serikin, harus melewati sejumlah kecamatan dari Bengkayang, Ibu Kota Kabupaten Bengkayang.
Diantaranya Lumar, Ledo, Sanggau Ledo, Seluas dan Jagoi Babang. Sekitar dua jam perjalanan kalau kondisi lancar dari Bengkayang.
Setelah melewati pos penjagaan Indonesia dan Malaysia, serta melalui kebun sawit milik warga Sarawak, kita dapat tiba di pasar tersebut.
Akses dari pasar tersebut langsung ke Kuching, bandaraya Negara Bagian Sarawak, maupun kota-kota lain di Sarawak. Bau, termasuk kota terdekat dengan Serikin.
Nimu, warga Kecamatan Bengkayang, mengaku sangat terkejut saat dirinya datang ke Bau, beberapa waktu lalu.
Menurut Nimu, banyak produk kerajinan asal Indonesia, terutama dari Kabupaten Bengkayang, dijual di Bau.
Saat saya menanyakan asal dari mana, mereka mengakui hasil pengrajin Dayak Bidayuh Serikin. Padahal itu merupakan hasil anak negeri ini," kata Nimu.
Kerajinan yang ia lihat di Bau, seperti kursi dan tikar. Namun yang cukup terkenal dan diakui kualitasnya adalah tikar bidai.
Informasi dari tenaga kerja yang pernah bekerja di Malaysia menyebutkan bahwa bidai yang dibeli pengumpul dari Malaysia kemudian di "finishing" lagi dengan menggunakan teknologi lanjutan sehingga bidai menjadi naik nilai tambahnya.
Hasil "finishing" dijual ke India, Singapura, Jepang dan Prancis, ada pula yang kembali dijual di Batam dan Bali.
Ketua Koperasi Hasil Benua, Kecamatan Seluas, Basiran sudah tiga tahun terakhir menggeluti bisnis bidai.
Selain sebagai perajin, ia juga menampung tikar bidai dari warga yang ada di Kecamatan Seluas dan sekitarnya.
Ia mengakui, kesulitan dalam membuat tikar bidai adalah penyediaan bahan baku.
Baik rotan (jenis Saga Mas) yang kerap didatangkan dari Kalimantan Tengah, maupun kulit kayu kapuak.
Ia tidak memungkiri, perajin lebih mementingkan barang dagangannya laku.
Mengenai klaim warga Serikin terhadap produk bidai, tidak lagi menjadi pemikiran mereka.
Itu urusan pemerintah, apakah saat ini mampu menampung bidai yang kami produksikan sama halnya dengan harga, harus lebih tinggi dari Serikin," ujar dia.
Unggulan Heru Kamaruzaman, Konsultan Pendamping Koperasi dan UMKM Kabupaten Bengkayang dari Kosama Finace Consulting mengatakan, beberapa waktu lalu melakukan peninjauan UKM bidai di Jagoi Babang bersama pihak Kementerian Perdagangan, serta Dinas Koperasi UMKM, Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bengkayang.
"Bidai memang menjadi salah satu komoditi unggulan Kabupaten Bengkayang. Dan sangat diminati turis," kata Heru Kamaruzzaman.
Bidai termasuk dalam unggulan Bumi Sebalo, julukan Kabupaten Bengkayang, untuk Program OVOC (One Vilage One Commodity).
Terkait hal itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat Kabupaten Bengkayang menyukseskan Program OVOC.
Ia berharap ada kebijakan untuk membantu pemasaran perajin, dan penyediaan bahan baku bidai di Kabupaten Bengkayang.
Basiran mengakui, modal menjadi salah satu permasalahan yang ia hadapi. Terkadang ia kerap kekurangan uang untuk menyerap hasil kerajinan warga sekitar.
"Mungkin pemerintah melalui instansi terkait membantu para perajin bidai dalam hal pengadaan bibit rotan saga emas dan bibit kayu kapuak untuk ditanam," sarannya.
Proses
Tikar tersebut umumnya tidak dijual dalam ukuran meter. Melainkan feet. Secara umum, tikar bidai memiliki ukuran 7x10 feet, 6x9 feet, 5x7 feet dan 4x6 feet.
Awalnya, tikar bidai digunakan masyarakat Dayak untuk alas menjemur padi dan sahang.
Untuk membuat selembar bidai, rotan harus dibelah menjadi beberapa bagian lalu dihaluskan di bagian pinggirnya.
Sementara kulit kayu kapuak atau kapoa, diperoleh setelah menebang pohonnya. Pohon yang ditebang akan tumbuh dengan sendirinya.
Kulit pohon yang sudah dikelupas dipisahkan lagi dari kulit luar pohon.
Setelah itu kulit dijemur dan dihaluskan dengan cara memukul-mukul kulit dengan palu dari kayu,yang bentuknya lebar.
Harga jualnya umumnya mengacu negeri jiran, yakni menggunakan ringgit Malaysia.
Kalau berkunjung ke pusat kerajinan atau souvenir di Kota Kuching, juga dapat dengan mudah menemui tikar bidai.
Dibandingkan dengan buatan tangan perajin asal Kabupaten Bengkayang, perbedaannya hanya pada kemasan.
Di toko di Kuching, sudah dibungkus dengan rapi, lengkap dengan label kemasan.
Harganya, tentu jauh lebih tinggi dibanding membeli di Pasar Serikin atau Jagoi Babang.
Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot pada suatu kesempatan pernah menyatakan telah memfasilitasi dan memberi kemudahan terhadap usaha tikar bidai.
"Sudah menjadi rahasia umum kerajinan bidai yang masuk ke Malaysia itu kemudian diubah dan mereka jual kembali," kata dia.
Padahal, katanya menegaskan, barang tersebut berasal dari Jagoi Babang.
Gidot menjelaskan masyarakat Dayak pada umumnya menjual tikar bidai dalam bentuk sederhana, apa adanya, dan belum mendapatkan sentuhan teknologi.
Kondisi itu menjadi kesempatan bagi Malaysia untuk memperbaiki dengan kualitas lebih baik kemudian dijual kembali kepada pihak lain.
Namun ia menegaskan bahwa tidak ingin kerajinan tikar bidai hasil karya warganya, diklaim negara luar.
Suryadman Gidot sudah meminta instansi terkait untuk untuk membina para pengrajin dan membantu pemasaran, promosi serta permodalan.
Bupati menegaskan ia tidak ingin kerajinan tikar bidai yang merupakan hasil karya warga Jagoi Babang diklaim oleh negara luar.
(T011)
Kerajinan Anak Negeri di Tanah Jiran
Sabtu, 17 November 2012 11:10 WIB