Jakarta (Antara Kalbar) - Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB, ketika sebuah perangkat bernama LICOR 8100 secara otomatis mulai bergerak perlahan-lahan, bagian "panci terbalik" dari peralatan buatan Amerika Serikat itu kemudian terpasang pada bagian gelangnya.
Sekitar tiga menit, panci terbalik tersebut kemudian terangkat untuk kembali ke tempatnya dan setelah berulang selama tiga kali, LICOR 8100 beristirahat kemudian akan mengulang prosesinya setiap jam.
Gerakan tersebut terus dijalani perangkat yang berfungsi untuk mengukur pelepasan emisi gas rumah kaca itu 24 jam sehari dan akan berlangsung sepanjang tahun.
Hal itu menjadikan data yang terkumpul dari perangkat harganya mencapai Rp1 miliar/unit tersebut memiliki akurasi yang sangat tinggi.
"Dengan perangkat ini (Licor 8100), kita bisa mendapat data volume pelepasan emisi GRK yang lebih akurat," kata Guru Besar Fisika Tanah dan Hidrologi IPB, Profesor Budi Indra Setiawan di areal konsesi hutan tanaman industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang terletak di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (29/1).
Budi yang ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan sebagai Ketua tim Pakar Independen untuk Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) pengelolaan Semenanjung Kampar memberi penjelasan kepada sejumlah pihak yang ingin menyaksikan langsung bagaimana MRV dilakukan.
Hadir pula dalam kesempatan tersebut Staf Ahli Menteri Kehutanan bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim, Yetti Rusli dan Direktur Program Tropenbos Indonesia Petrus Gunarso. Juga bergabung para pakar gambut dari Utsunomiya University, Jepang, yang secara bersama melakukan pemantauan pelepasan emisi karbon.
Sudah lebih dari dua tahun terakhir Budi dan tim-nya `memelototi¿ pengelolaan Semenanjung Kampar.
Sebelumnya, awal 2010, Menhut Zulkifli Hasan sempat membekukan operasional sejumlah perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut setelah menerima protes dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Kampaye yang dihembuskan LSM, Semenanjung Kampar yang merupakan lahan gambut terancam kelestariannya dan akan mengemisi gas rumah kaca dalam jumlah besar yang berdampak pada perubahan iklim global. Mereka menuntut perusahaan yang beroperasi harus angkat kaki dari sana.
Kini, hasil MRV yang dilakukan tim independen menunjukan kampanye tersebut terlalu berlebihan. Menurut Budi, hasil pemantauan timnya di estate Meranti yang menjadi bagian dari konsesi HTI RAPP membuktikan, pembangunan HTI di lokasi tersebut justru meningkatkan penyerapan karbon.
"Neracanya menunjukan masih ada surplus penyerapan karbon yang cukup besar dengan pembangunan HTI," katanya.
Dia menjelaskan, secara alami lahan gambut melepas dan menyerap gas rumah kaca sepanjang tahun.
Hasil pengukuran menggunakan perangkat LICOR menunjukan, pada 2011 karbon yang terlepas berkisar 50-60 ton/hektare, pada saat yang sama tanaman HTI mampu membentuk biomassa sebanyak 271,67 ton/hektare setara dengan 88,6 ton karbon/hektare.
Hal ini menunjukan, ada penyerapan karbon lebih banyak antara 28,6-38,6 ton/hektare per tahun.
Menurut Budi, kunci dari surplus karbon pada HTI RAPP adalah pengelolaan tata air dengan penerapan teknologi ekohidro. Teknologi tersebut memastikan laham gambut tetap dalam keadaan basah sehingga tidak melepas karbon lebih banyak.
"Semakin kering gambut, semakin banyak pelepasan karbonnya. Kalau kita bisa mempertahankannya tetap basah, maka emisi karbon bisa ditekan," katanya.
Budi menjamin akurasi pengukuran yang dilakukan tim-nya tanpa putus sepanjang tahun. Dia mengkritik cara-cara pengukuran emisi karbon yang kerap keliru dari sejumlah pihak yang mengukur pada titik-titik tertentu untuk kemudian disimpulkan rata-rata sepanjang tahun.
Menurut dia, cara pengukuran emisi seperti itu adalah penyesatan informasi publik.
Pertumbuhan ekonomi
Hasil MRV tersebut sekaligus menjawab polemik soal boleh tidaknya lahan gambut dikelola untuk kepentingan pembangunan. Menurut Budi, lahan gambut sejatinya potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
Oleh sebab itu ketentuan yang mengatur kalau lahan gambut yang boleh dimanfaatkan hanya yang berkedalaman kurang dari 3 meter dinilainya sudah kuno.
"Dengan teknologi ekohidro, gambut layak dimanfaatkan berapapun kedalamannya," tegas Budi.
Dia juga meminta agar pengalaman buruk pengelolaan gambut di masa lalu, seperti kasus lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan tidak lagi dijadikan satu-satunya rujukan. Apalagi, banyak juga bukti pengelolaan gambut yang berhasil seperti di Delta Upang, Sumatera Selatan.
Budi mengakui penerapan teknologi ekohidro butuh investasi yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, hanya perusahaan dengan kapitalisasi besar yang punya kemampuan untuk melakukannya.
Pengelolaan gambut oleh masyarakat apalagi jika tidak didukung oleh infrastrukur yang disiapkan pemerintah untuk penerapan teknologi ekohidro, hanya akan mengancam kelestarian lahan gambut.
Pakar sumberdaya lahan dari Universitas Lampung Profesor Muhajir Utomo menambahkan, meski butuh dana besar, namun perusahaan yang beroperasi di lahan gambut harus berkomitmen untuk memenerapkan teknologi ekohidro.
"Penerapan teknologi tersebut jangan dilihat sebagai 'cost' (biaya) namun sebagai investasi untuk kelestarian gambut dan keberlanjutan usaha," katanya.
Staf Ahli Menhut bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Yetti Rusli menyatakan estate Meranti yang dikelola RAPP layak dijadikan lokasi aktivitas demonstrasi penerapan skema pengurangan emisi dari deforestasi degradasi hutan (REDD+).
Dia menyatakan akan segera mengusulkan kepada Menhut Zulkifli Hasan untuk mengakomodasi estate Meranti sebagai lokasi demonstrasi REDD+.
"Pengelolaan hutan lestari seperti HTI adalah obat mujarab untuk menjawab isu perubahan iklim," katanya.
Pengelolaan hutan lestari, kata dia, bukan hanya menyerap emisi yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pembakaran bahan bakar fosil, tapi juga mampu menyokong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
"Harus diingat negara maju adalah emiter terbesar gas rumah kaca. Mereka harus menghormati peran hutan yang dimiliki Indonesia untuk menyelamatkan dunia dari bencana perubahan iklim," tegasnya.
Sementara itu Direktur Utama RAPP Kusnan Rahmin menyatakan pihaknya mengapresiasi kebijakan MRV yang diterapkan pemerintah terhadap perusahaan.
Dia menyatakan, terbuka dengan hasil MRV untuk perbaikan tata kelola lahan gambut di HTI RAPP. "Hasil dari MRV yang dilakukan tim independen akan kami terima dan gunakan untuk perbaikan tata kelola lingkungan di HTI RAPP," ujarnya.
RAPP berkomitmen untuk membangun HTI secara lestari dan untuk membangun HTI berkelanjutan, perusahaan tersebut menanam tak kurang dari 300 juta batang bibit setiap tahunnya.
(T.S025/Z002)
Pengelolaan Lahan Gambut Menggunakan Teknologi Ekohidro
Minggu, 3 Februari 2013 17:40 WIB