Jakarta (Antara Kalbar) - Menjelang pesta demokrasi di Indonesia saat ini, banyak wacana politik yang dimunculkan para calon anggota legislatif, lembaga independen, maupun calon presiden. Namun sayangnya hanya sedikit yang berdasar pada data yang baik. Padahal dengan berbasis pada data, wacana itu mendasari analisanya pada fakta-fakta ilmiah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa data harus bisa menjadi basis bagi pengambilan kebijakan publik. Studi seperti ini sangat penting agar formulasi kebijakan menjadi lebih baik.
Kebijakan publik yang baik yang dikomunikasikan kepada audiens minimal harus memiliki sejumlah persyaratan. Salah satu dari persyaratan strategi komunikasi politik itu mencakup pemahaman yang cukup dan analisa yang kuat terhadap situasi.
Menurut Sally J. Peterson & Janel M. Radtke dalam bukunya yang berjudul Strategic Communication for Non Profit Organization (2009), ada tujuh langkah untuk membuat komunikasi strategis. Ketujuh langkah tersebut bisa juga diaplikasikan untuk komunikasi politik.
Disebutkan, langkah pertama komunikasi itu adalah persiapan perencanaan, kemudian membangun pondasi yang kuat dari rencana komunikasi dan tentu saja hal ini memerlukan riset data. Langkah ketiga adalah fokus dan keempat mengembangkan dukungan dari audiens. Selanjutnya adalah mempromosikan dan mengembangkan rencana serta diakhiri dengan kegiatan-kegiatan yang menjamin kesuksesan.
Ketujuh langkah tersebut bisa juga diterapkan untuk berkomunikasi dalam bidang politik, terutama dalam menetapkan fondasi perencanaan komunikasi yang bertumpu pada data dan fakta ilmiah. Disinilah pentingnya riset. Bila perencanaan tidak berdasarkan riset, itu sama saja dengan "menembak dalam gelap".
Dukungan data itu penting. Menurut Arif, seorang Magister Komunikasi, studi politik bisa dilihat melalui paradigma filsafat politik dan juga bisa dilihat dari politik. Kedua-duanya memang memerlukan dukungan data.
"Filsafat politik adalah disiplin ilmu yang abstrak dan tidak cepat tanggap terhadap persoalan politik aktual, sedangkan studi tentang politik praktis bisa sebaliknya, meski politik praktis acapkali dilingkupi analisa politik yang serba tak pasti dan cepat
berubah," kata dia.
Sementara Abdul Malik Gismar, Associate Director dari Paramadina Graduate School, berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik yang didasari pada data yang kuat ternyata belum banyak dipraktikkan. Jika wacana politik yang simpang siur ini tidak memiliki basis data yang kuat seperti data tentang kemiskinan, dan siswa putus sekolah, maka itu akan menambah runyam.
"Coba kita lihat sejumlah visi-misi dari pemilu kepala daerah, tengoklah misalnya tentang pendidikan, berapa banyak anak yang tidak lulus Sekolah Dasar tiap daerah...... apakah ada data yang akurat? Berapa jumlah angka kemiskinan? apakah didasari data yang tepat?" kata Malik bertanya.
Peraih gelar PhD dari New School for Social Research di New York City, Amerika Serikat itu melanjutkan dengan tegas, "Ini berimplikasi pada bugdet yang harus disediakan serta kebijakan yang harus diambil."
Lebih jauh, setiap peneliti harus memastikan bahwa karekteristik data yang diambil adalah data yang bernilai. Data yang bernilai atau valuable data adalah data yang tepat, lengkap, ekonomis, fleksibel, reliable, relevan, sederhana, tepat waktu, bisa diverifikasi, bisa diakses dan memiliki jaminan keamanan data bagi pemilik otoritas.
Big Data
Dewasa ini ketersediaan data yang berlimpah bisa disiasati dengan hadirnya teknologi informasi. Bahkan ada kecenderungan makin banyak penggunaan "big data" atau mengambil data dari seluruh populasi, bukan hanya berdasar pada teknik sampling yang hanya mengambil beberapa contoh wakil populasi.
Kemampuan komputasi yang luar biasa dalam mengumpulkan begitu banyak data adalah kecenderungan baru atau gelombang baru untuk membaca gejala sosial dan ini adalah fakta yang sangat menarik.
Meski demikian "big data" memiliki sejumlah tantangan seperti dalam hal pengambilannya, dan karena jumlahnya yang sangat besar maka pasti memiliki konsekuensi dalam hal penyimpanan, pencarian, sharing-nya, cara men-transfer, cara menganalisa maupun membuatnya menjadi visual.
Karena itu kita patut memberi apresiasi terhadap penelitian yang berbasis pada "big data". Pada awal Februari lalu di Jakarta dipublikasikan hasil penelitian bertajuk "10 Keresahan Publik Terhadap Negara di Tahun Politik" hasil kerja sama antara Universitas Paramadina dengan Awesometrics.
Riset yang dilakukan dalam rentang waktu November hingga Desember 2013 ini dilakukan melalui teknik menjaring "big data" berdasar kata kunci tertentu yang tersebar di situs jejaring sosial Twitter, kemudian dikelompokkan sesuai kategori yang diinginkan.
Mengapa menggunakan Twitter? Peneliti yang diwakili oleh Koesworo, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik di Universitas Paramadina itu menjelaskan, Twitter itu kicauan nya lebih "asli" karena benar-benar muncul dari benak publik.Twitter juga dianggap minim sensor dimana hal ini menjadi salah satu pembeda dengan produk berita. Selain itu kicauan publik dalam Twitter sering di-share dan di retweet di media massa dan sangat mungkin menjadi indikator wacana publik.
Penelitian itu mencoba melihat persepsi publik terhadap tiga cabang kekuasaan atau Trias Politika -- Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa ada sejumlah keresahan yang tercermin dari 500.000 kicauan.
Analisa kicauan Twitter selama dua bulan itu menunjukkan bahwa publik kita merasakan keresahan terhadap kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif. Esekutif dinilai buruk pada aspek pelayanan publiknya, sementara legislatif dinilai kurang bagus pada sisi kinerja serta perilaku anggotanya misalnya korupsi dan perilaku negatif lain.
Sedangkan yudikatif dinilai tidak bagus lantaran banyaknya mafia kasus, tumpukan utang perkara serta tindakan amoral anggotanya.
Penelitian kolaborasi ini memang diakui sebagi kolaborasi ideal, sangat serius namun tidak glamor dan tanpa ada beban karena tanpa sponsor. Abdul Malik Gismar yang juga menjabat sebagai penggagas Forum Membaca Indonesia ini menyebutnya sebagai penelitian yang mencoba mendengarkan suara hati dan pikiran rakyat Indonesia melalui Twitter.
"Kita mencoba membaca the heart and mind of Indonesian people", membaca hati dan pikiran orang Indonesia melalui Twitter yang ditangkap mesin milik Awesometeris," kata konsultan dan traininer yang telah menggeluti dunia riset lebih dari 15 tahun itu.
Abdul Malik Gismar menambahkan "Ini jauh lebih substansial dan kita mencoba menciptakan voice dibanding noice," kata dia mengacu pada teori-teori komunikasi bahwa noise adalah gangguan dalam proses komunikasi yang menyebabkan pesan tidak sampai kepada komunikan.
Sementara menurut Suraya, Direktur Prodi Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana Universitas Paramadina, penelitian ini memiliki misi mulia yakni mencoba menangkap data riil yang sedang dibicarakan masyarakat tentang negaranya.
"Ini adalah gambaran kepedulian publik terhadap negaranya melalui "mention" di Twitter yang kemudian diambil untuk diteliti. Cerminan yang tertulis di Twitter adalah cerminan apa yang dipikirkan oleh masyarakat kita, namun tidak sampai kepada negara," kata dia seraya berharap agar kita semua memiliki kepedulian untuk menyampaikan sesuatu kepada negara dan ada upaya memperbaikinya jika sesuatu itu perlu diperbaiki.
Bisa Dikembangkan
Pengambilan "big data" dan memantau media online khususnya sosial media, sesungguhnya bukanlah hal baru dalam disiplin ilmu Public Relation maupun Marketing. Biasanya kegiatan monitoring terhadap sosial media dipergunakan untuk menganalisa perilaku konsumen, namun kali ini kegiatan monitoring diarahkan untuk membicarakan masalah politik.
Hasilnya penelitian itu pun bisa diperluas menjadi sebuah penelitian tentang studi komunikasi politik yang komprehensif, mengingat studi ini telah memenuhi salah satu karakteristik sebuah studi ekonomi politik.
Hasil penelitian berbasis data di atas sudah memenuhi karakteristik studi ekonomi politik pada sisi "pendekatan sosial menyeluruh", artinya kajian ekonomi politik harus menyajikan pendekatan pada fakta-fakta secara total atau pendekatan menyeluruh dan bukan menyajikan pendekatan yang parsial. Hal ini agar gambaran utuh sebuah objek penelitian muncul, sehingga dari sudut ekonomi-politik akan terlihat siapa sesungguhnya dibalik kepemilikan suatu objek penelitian.
Kakteristik lainnya yakni konteks historis atau bentangan fakta sejarah. Ini tidak dapat dipisahkan dari studi tentang ekonomi-politik media, karena hal ini menyangkut bagaimana sebuah dunia direkonstruksi dan ditampilkan. Karakteristik selanjutnya adalah muatan filosofi moral dan mengedepankan dunia praktek atau praxis untuk membuat kebijakan yang lebih baik di Indonesia.
*) Penulis adalah Manajer Pusat Data & Riset ANTARA