Jakarta (Antara Kalbar) - Sejumlah lembaga survei menggugat ketentuan larangan pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) Pemilu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD ke Mahkamah Konstitusi.
Para pemohon yang terdiri dari Pt Indikator Politik Indonesia, Pt Saiful Mujani, Pt Pedoman Riset menguji Pasal 247 ayat (2), (5), (6), Pasal 291, dan Pasal 317 ayat (1) dan (2) UU Pemilu Legislatif.
Kuasa Hukum Pemohon, Andi Suafrani, saat sidang di MK Jakarta, Senin, mengatakan norma yang diuji tersebut sebenarnya telah dibatalkan dalam putusan MK Nomor 09/PUU-VII/2009, yakni menghapus Pasal 245 ayat (2,) (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
"Larangan pengumuman survei pada masa tenang menghilangkan semangat reformasi yakni kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945," kata
Andi Syafrani, saat membacakan permohonannya di depan majelis panel yang diketuai Muhammad Alim.
Pasal 247 ayat (2) berbunyi: "Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang".
Pasal 247 ayat (5): "Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat" dan ayat (6)-nya menyebutkan: "Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu".
Sementara Pasal 291 menyebutkan: "Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta".
Sedangkan Pasal 317 mengatur ancaman pidana dan denda jika lembaga survei tidak memberitahukan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu dan memberitahukan hasilnya sebelum 2 jam.
Menurut Andi, larangan pengumuman hasil survei saat masa tenang dalam Pasal 247 ayat (2) kontraproduktif dengan cita-cita menjaga kualitas demokrasi dan pemilihan umum. Sebab, survei seperti halnya hasil penelitian lain selayaknya dapat diumumkan kapanpun kepada publik.
"Beberapa pemohon akan melakukan quick count di media televisi, sehingga pasal-pasal itu berpotensi merugikan pemohon," katanya.
Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan seharusnya pemohon mengawali permohonan ini dengan kontruksi putusan MK yang mengabulkan pengujian Pasal 245 UU Pemilu Legislatif.
Dia meminta pemohon menguraikan latar belakang dimuatnya materi itu dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 oleh pembentuk undang-undang dan menggambarkan secara lengkap putusan MK No. 09/PUU-VII/2009 termasuk diperhatikan dasar pengujiannya pasal berapa
"Jika perlu, uraikan bentuk pertanyaan kenapa ketentuan yang sudah dihapus dimuat lagi dalam perubahan UU berikutnya," kata Fadlil.
(J008/R. Fahriza)
Ketentuan "Quick Count" Pemilu Digugat ke MK
Senin, 24 Maret 2014 23:38 WIB