Jakarta (ANTARA) - Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan kembali menjadi sorotan publik setelah ditangkapnya tersangka yang ternyata dua oknum anggota Brimob.
Sudah sekian lama publik menunggu titik terang kasus itu, termasuk pelakunya hingga hampir pesimistis atas pengungkapan peristiwa yang membuat indera penglihatan Novel mengalami kecacatan.
Belum hilang rasa penasaran, publik kembali dikejutkan dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kedua tersangka yang dianggap sangat ringan, yakni satu tahun penjara.
Dalam perkara ini, JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dalam sidang pembacaan tuntutan pada 11 Juni 2020 menuntut satu tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis karena menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel.
Jaksa menyampaikan aksi terdakwa tersebut untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel.
Keduanya dinilai terbukti melakukan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ronny dan Rahmat diketahui adalah polisi aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua Depok.
Dalam surat tuntutan disebutkan kedua terdakwa, yaitu Ronny Bugis bersama-sama dengan Rahmat Kadi Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Tuntutan JPU yang dianggap ringan itu sampai juga ke telinga Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menegaskan akan mengevaluasi tuntutan JPU pada tersangka kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan.
"Akan saya minta evaluasi lagi. Kenapa? Karena Jaksa ini (seharusnya) menuntut berdasarkan adanya fakta-fakta yang ditemukan di persidangan. Kami nanti akan seimbangkan dengan putusan (hakim) Pengadilannya," kata Burhanuddin dalam rapat bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/6) lalu.
Apabila nanti tuntutan Jaksa tak seimbang dengan putusan hakim di Pengadilan, Burhanuddin memastikan bahwa itu pasti ada 'sesuatu' di dalam penuntutan Jaksa dalam kasus Novel Baswedan tersebut.
Burhanuddin memastikan bahwa akan ada evaluasi pada jaksa yang melakukan penuntutan satu tahun penjara kepada tersangka yang mengakibatkan luka fatal pada mata Penyidik KPK tersebut.
"Tapi nanti kalau ada keseimbangan , artinya pertimbangan jaksa ada dipakai dalam pertimbangan hakim," katanya.
Harapan keadilan
Sekadar pengingat, peristiwa penyiraman terhadap Novel terjadi pada Selasa, 11 April 2017, ketika sosok yang memilih mundur dari Polri dengan pangkat terakhir komisaris polisi (kompol) itu usai menunaikan shalat Subuh di masjid tak jauh dari kediamannya.
Sebagai korban, Novel pun seperti sudah mencapai titik nadir sampai-sampai tidak berharap apa pun terhadap vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim PN Jakarta Utara kepada dua orang terdakwa penyerang dirinya.
"Saya tidak taruh harapan apa pun, sekalipun dihukum berat apalagi dihukum ringan karena peradilan ini sudah didesain untuk gagal, seperti peradilan sandiwara," kata Novel Baswedan saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Persidangan, menurut Novel, mestinya untuk menemukan kebenaran materiil, bukan untuk justifikasi atas dasar kepentingan agar ada "pelaku".
"Proses sidang sudah sedemikian jauh belok, bagaimana mungkin bisa diharap pada putusannya? Kalau seandainya putusan berat tapi pelakunya bukan dia bagaimana? Belum lagi, fakta sidang yang menjadi basis putusan, sulit bagi hakim merangkai sendiri fakta yang jauh berbeda dengan jaksa. Apakah baik putusan berat terhadap fakta yang bengkok?" tambah Novel.
Bila hakim memvonis dengan fakta yang bengkok, menurut Novel, malah menjadi legitimasi untuk menutupi kajian sebenarnya dan pelaku lainnya.
"Pada dasarnya menghukum orang harus dengan fakta obyektif berbasis alat bukti. Tidak boleh menghukum orang yang tidak berbuat, sekalipun yang bersangkutan menghendaki tapi tidak didukung bukti yang memadai. Jangan dipaksakan dengan mengkondisikan fakta atau mengada-adakan bukti," kata lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1998 itu.
Di sisi lain, harapan terpenuhinya rasa keadilan dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel yang vonisnya dibacakan Kamis (16/7) ini telah disuarakan banyak pihak, di antaranya Wakil Ketua KPK Nawani Pomolango.
Nawawi Pomolango mengharapkan vonis terhadap dua penyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Saya tetap percaya Majelis Hakim akan memutuskan perkara ini sesuai dengan fakta-fakta yuridis yang diperoleh dalam persidangan dan menyandingkan dengan rasa keadilan masyarakat," kata Nawawi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Sedangkan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan harapan masyarakat terhadap keadilan ada di tangan majelis hakim.
"Masyarakat tentu akan melihat apakah hakim akan menghukum ringan sesuai tuntutan jaksa atau menghukum berat karena pelaku telah menyerang aparat negara yang bertugas memberantas korupsi seperti yang dilakukan pengadilan Malaysia sebagai bentuk perlindungan aparatnya atau bahkan mungkin juga membebaskan karena berdasar fakta persidangan bukan mereka pelakunya," kata Yudi.
Apa pun vonisnya, Yudi mengaku jalan panjang pengungkapan kasus yang sudah berjalan tiga tahun lebih tersebut belum berakhir.
"Karena aktor intelektual belum terungkap dalam fakta persidangan dan juga motif penyerangan belum jelas karena hanya pengakuan terdakwa. Itulah sebabnya kami dan tim kuasa hukum bersama-sama memantau jalannya persidangan," tambah Yudi.
Putusan hakim
Akhirnya, saat yang ditunggu tiba, yakni penjatuhan vonis oleh majelis hakim kepada kedua terdakwa penyerang Novel. Persidangan secara daring beragendakan putusan tersebut molor dari semula dijadwalkan Kamis pagi menjadi selesai pada malam hari.
Majelis hakim PN Jakarta Utara menjatuhkan vonis selama dua tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan 1,5 tahun penjara kepada Ronny Bugis karena terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka berat terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Rahmat Kadir Mahulette terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama yaitu melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette berupa pidana penjara selama dua tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan," kata ketua majelis hakim Djumyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis malam.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Ronny Bugis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama yaitu melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ronny berupa pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan," tambah hakim Djumyanto.
Keduanya dinilai terbukti melakukan perbuatan berdasarkan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Putusan itu lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang menuntut Ronny Bugis dan rekannya Rahmat Kadir Mahulette selama 1 tahun penjara.
"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa tidak mencerminkan Bhayangkara negara, terdakwa telah mencederai citra institusi Polri. Hal yang meringankan, terdakwa berterus terang, terdakwa sudah menyampaikan maaf kepada korban Novel Baswedan, keluarganya, institusi Polri dan seluruh rakyat Indonesia dan belum pernah dihukum," tambah hakim Djumyanto.
Keduanya dinilai tidak terbukti sejak awal melakukan penganiayaan berat.
"Perbuatan terdakwa telah menambahkan air ke dalam mug yang telah terisi air aki sebenarnya tidak menghendaki luka berat pada diri saksi korban Novel Baswedan sebab jika sikap batin terdakwa ingin menimbulkan luka berat, tentu terdakwa tidak perlu menambahkan air kepada mug yang telah terisi air aki yang merupakan air keras tersebut atau dengan cara lain apalagi terdakwa anggota pasukan Brimob yang terlatih melakukan penyerangan secara fisik," kata hakim.
Apalagi, menurut hakim mengutip keterangan ahli Hamdi Moeloek perbuatan terdakwa ingin memberikan pelajaran kepada saksi korban Novel Baswedan untuk memuaskan impuls terhadap Novel karena ingin membela korps tempat Rahmat dan Ronny bekerja yaitu institusi Polri.
"Karena terdakwa beranggapan semestinya Novel Baswedan memiliki jiwa korps yang sama dengan demikian jelas perbuatan terdakwa memang terbukti mengakibatkan luka berat terhadap saksi berat Novel Baswedan tapi luka berat itu pada faktanya bukan niat atau bukan kehendak atau tidak menjadi sikap batin terdakwa sejak awal sehingga unsur penganiayaan berat dalam dakwaan primer tidak terpenuhi," ungkap Hakim.
Meski tidak terpenuhi penganiayaan berat, namun penganiayaan itu dilakukan dengan rencana lebih dahulu.
"Dalam sidang muncul pengakuan bahwa ada niat terdakwa memberikan pelajaran kepada saksi korban Novel Baswedan yang diawali berusaha mencari alamat, setelah memperoleh alamat tinggal lalu meminjam motor Ronny Bugis untuk melakukan survei pada 8-9 April 2017," tambah hakim.
Setelah yakin alamat Novel maka pada 10 April 2017, Rahmat mengambil sisa air aki ke kontrakan dan mencampur air ke mug yang sudah diisi air aki yang diperoleh dari pool mobil Polri.
"Terdakwa lalu mengajak Ronny Bugis sampai akhirnya terdakwa menyiramkan air aki kepada Novel Baswedan sehingga jelas rangkaian perbuatan terdakwa dilakukan dalam suasana tenang dalam rentang waktu yang cukup antara kehendak dan pelaksanaan kehendak sehingga jelas direncanakan lebih dahulu," tambah hakim Djumyanto.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa langsung menyatakan menerima, sedangkan JPU Kejari Jakarta Utara menyatakan pikir-pikir.
Baca juga: Novel Baswedan dan tuntutan yang "sudah kuduga"
Jalan panjang kasus Novel Baswedan
Jumat, 17 Juli 2020 4:57 WIB