Beijing (ANTARA) - Lazimnya, sebuah festival dirayakan dengan pesta atau berbagai kegiatan lainnya yang sifatnya untuk mendapatkan kesenangan batin.
Demikian halnya dengan Festival Musim Semi yang di China merupakan satu rangkaian dengan libur Tahun Baru Imlek.
Festival Musim Semi yang dalam tradisi masyarakat China dikenal dengan sebutan Chun Jie merupakan perayaan terbesar di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Chun Jie merupakan momentum bagi masyarakat China untuk pulang kampung besar-besaran guna berkumpul bersama keluarga.
Namun kemeriahan suasana Imlek pada tahun ini sama sekali tidak terlihat. Berbagai tempat hiburan, objek wisata, dan ajang berkumpul warga lainnya di sejumlah daerah di China tidak banyak dipadati warga, meskipun durasi liburan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sesuai kalender di China, Taiwan, dan Hong Kong, libur Imlek berlangsung pada 11-18 Februari 2021. Kantor-kantor perwakilan pemerintah RI di China, Taiwan, dan Hong Kong tutup pada tanggal tersebut untuk menyesuaikan hari libur yang ditetapkan oleh otoritas setempat.
Di China, relatif tidak banyak warga negara Indonesia karena yang pulang sejak awal pandemi COVID-19 pada tahun lalu belum pada kembali.
Beberapa WNI yang masih bertahan di Hong Kong dan Makau relatif tidak banyak melakukan aktivitas di luar menyusul imbauan otoritas setempat.
Hanya di Taiwan, WNI yang masih aktif menggelar berbagai kegiatan di tempat publik, seperti Barisan Ansor Serba Guna (Banser) Taiwan yang mengadakan pendidikan dan latihan dasar di pinggiran Kota Changhua pada 13-14 Februari 2021. Diklat yang diikuti oleh 150 orang PMI pria dan wanita yang bekerja di sektor formal dan informal tersebut dibuka langsung secara daring oleh Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor yang baru saja menjabat Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas pada Sabtu (13/2).
Namun secara umum fenomena Imlek pada tahun ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang penuh dengan ingar-bingar.
Jarak sosial, pembatasan kapasitas, penutupan tempat ibadah, pengetatan protokol kesehatan, dan berbagai hambatan lainnya membuat masyarakat di China ogah keluar rumah.
Qianmen, Tian'anmen, dan Kota Terlarang sebagai ikon pariwisata di Beijing yang telah mendunia juga seakan kehilangan pamornya pada momentum perayaan terbesar itu.
Tidak ada antrean orang yang hendak menumpang trem di Qianmen yang berjalan membelah pasar jajanan kuno khas Beijing di kawasan pintu depan Kota Terlarang itu.
Pemandangan orang yang mengular di kanan-kiri gerbang Kota Terlarang yang bisa tembus ke Lapangan Tian'anmen juga tidak terlihat lagi.
Namun bukan berarti objek-objek wisata tersebut sepi sama sekali. Ada beberapa kelompok wisatawan, namun mereka dari kalangan masyarakat setempat saja karena hampir semua pemerintah provinsi atau kota setingkat provinsi di China mengeluarkan imbauan tidak bepergian ke luar daerah selama Chun Jie.
Beijing pun memperketat masuknya orang dari luar daerah dengan mewajibkan hasil negatif tes usap yang berlaku tiga hari sebelum kedatangan.
Bagi orang asing yang hendak masuk Beijing lebih ketat lagi karena harus menambah tujuh hari lagi karantina setelah karantina wajib di kota lain selama 14 hari. Dalam masa tujuh hari itu pun masih diharuskan tes usap dengan sampel yang diambil dari dubur.
"Sebenarnya kita punya jadwal press trip. Namun daripada kita kesulitan saat kembali ke Beijing nanti, maka kita jadwal ulang lagi," kata salah satu penaggung jawab Pusat Pers Internasional di Kementerian Luar Negeri China (MFA) kepada ANTARA Beijing pada awal Februari.
Cuaca Ekstrem
Pusat-pusat perbelanjaan di Ibu Kota China itu juga tidak seramai biasanya meskipun berbagai potongan harga digeber berbagai pemilik merek.
Hal itu menunjukkan bahwa perekonomian China memang belum pulih 100 persen sejak pandemi mewabah menjelang Imlek tahun 2020.
Beberapa restoran juga tidak banyak didatangi pengunjung karena otoritas setempat mempersyaratkan jamuan makan bersama tidak boleh diikuti lebih dari 10 orang.
Deretan restoran di kawasan Dongzhimen juga tidak seramai biasanya, bahkan beberapa di antaranya memilih tutup.
"Saya libur empat hari mulai Jumat (12/2)," kata perempuan pemilik restoran di kawasan Dongzhimen.
Meskipun sama-sama dalam situasi pandemi, Imlek tahun ini kesannya lebih merana dibandingkan tahun lalu.
Pada tahun lalu, masih terlihat adanya kepadatan orang-orang di terminal bus, stasiun kereta api, dan bandar udara di Ibu Kota yang hendak pulang kampung mengisi liburan Imlek.
Chun Yun, atau fenomena mudik selama masa Chun Jie, pada tahun ini sangat dirasakan oleh China National Railway Group.
Operator jaringan kereta api di China itulah yang paling parah terkena dampak dari imbauan tidak mudik yang dikeluarkan oleh hampir semua pemerintah provinsi dan kota setingkat provinsi.
Sejak dicanangkannya program angkutan mudik Imlek pada 28 Januari hingga 11 Februari 2021 kereta api di China hanya mengangkut 52.330.000 pemudik.
Angka itu turun drastis hampir 70 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2020 ketika kereta api di China mampu mengangkut 167.990.000 pemudik.
Padahal pada saat itu juga ada anjuran tidak mudik dari pemerintah setelah Wuhan di-lockdown.
Penurunan signifikan jumlah penumpang itu terjadi di beberapa kota besar. Dalam 15 hari terakhir, hanya ada 147.700 pemudik yang menggunakan jasa kereta api dari Beijing ke berbagai daerah.
Menjelang Imlek tahun lalu, ANTARA masih mendapati kepadatan kereta metro (subway) oleh para penumpang dengan banyak barang bawaan menuju Stasiun Beijing dan Stasiun Beijing Nan untuk ganti kereta reguler dan kerete cepat menuju berbagai daerah di barat, tengah, timur, dan selatan China.
Padahal semua pekerja sektor transportasi di China sudah menerima vaksinasi massal sejak 1 Januari 2021 guna menghadapi ledakan pemudik Imlek. Bahkan operator kereta api juga telah menyiapkan sarana dan prasarananya karena diperkirakan akan ada ratusan juta orang pemudik.
Ternyata imbauan agar tidak keluar daerah guna menghindari meluasnya wabah COVID-19 gelombang kedua bukan satu-satunya faktor yang menekan Chun Yun pada titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Cuaca ekstrem di berbagai daerah salah satunya. Sebanyak 18 provinsi dan kota setingkat provinsi di China bakal dilanda cuaca ekstrem selama beberapa hari ke depan.
Data Badan Metereologi China, Kamis (11/2), menyebutkan bahwa pada 12-14 Februari sebanyak 11 provinsi dan kota setingkat provinsi, seperti Beijing, Tianjin, Hebei, Shanxi, Mongolia Dalam, Xinjiang, Ningxia, Gansu, Heilongjiang, Jilin, dan Liaoning akan terkena dampak gelombang dingin dengan penurunan suhu 4-10 derajat Celcius disertai angin yang berhembus dari utara berkekuatan 4-6 kilometer per jam.
Di beberapa daerah di wilayah utara daratan Tiongkok itu kemungkinan juga bakal terjadi hujan salju dengan intensitas rendah hingga tinggi dan hujan es.
Pada 15-16 Februari, temperatur udara juga akan mengalami penurunan drastis di Shanghai, Zhejiang, Jiangsu, Anhui, Jiangxi, Henan, dan Shandong.
Di kota dan provinsi di wilayah timur tersebut ditambah di selatan, seperti Fujian, Guangdong, dan Guangxi bakal dilanda hujan lebat.
Sementara di daerah tengah, seperti Hubei, Hunan, Sichuan, dan Chongqing serta sebagian wilayah utara dan timur bakal berkabut dengan jarak pandang yang sangat rendah, kurang dari 200 meter.
Oleh karena itu, beberapa pekerja migran dari berbagai daerah memilih bertahan di Beijing daripada perjalanannya terhambat cuaca dan terkena aturan prokes yang sangat ketat.
"Tahun ini saya pilih tidak mudik. Di Beijing saja," kata seorang staf MFA yang biasanya setiap Chun Jie pulang ke kampung halamannya di Provinsi Henan.
Imlek di China tahun ini, perayaan tanpa pesta
Minggu, 14 Februari 2021 12:34 WIB