Jakarta (ANTARA) - Upaya pemerintah dalam menekan prevalensi perokok di Indonesia perlu mempertimbangkan beragam aspek, antara lain kondisi sosial, kultural dan ekonomi.
Ketua Yayasan Manusia Welas Asih Semesta (Mawas) Kurniawan Saefullah menyebutkan, pengentasan prevalensi merokok memerlukan identifikasi mendasar terkait penyebab meningkatnya konsumsi rokok di Indonesia.
"Dalam hal ini, perlu melihat apakah penyebabnya faktor sosial atau kultural. Keduanya saling berkaitan sekalipun juga perlu dibedakan,” ujar dia dalam siaran pers Sabtu.
Kurniawan menjelaskan fenomena sosial berkaitan dengan faktor pemicu konsumsi rokok di Indonesia. Untuk menekan prevalensi merokok di Indonesia, maka diperlukan identifikasi keterkaitan antara kedua fenomena tersebut.
“Saat merokok dilakukan karena didorong faktor stres, maka selama penyebab stres tidak diselesaikan, kebiasaan tersebut tidak akan tersolusikan,” tuturnya.
Hal yang sama juga perlu dilakukan terkait aspek kultural di mana berdasarkan riset, aspek kultural turut menjadi pendorong konsumsi rokok di Indonesia. Salah satu riset yang bisa menjadi pertimbangan adalah "If I don't smoke, I'm not a real man’ – Indonesian teenage boys views about smoking" oleh Nawi Ng, L. Weinehall, dan A. Ohman yang dipublikasikan pada 2007.
“Jika merokok disebabkan karena faktor kultural mengenai imaji bahwa yang merokok itu terkait dengan pandangan maskulinitas, maka perlu ada upaya besar untuk mengubah pandangan maskulinitas yang dikaitkan dengan merokok dan seterusnya,” paparnya.
Faktor ekonomi juga memicu prevalensi merokok. Kurniawan menjelaskan kebiasaan merokok erat dengan unsur kompleks yang mencerminkan adanya lapangan pekerjaan yang besar bagi petani dan buruh.
"Artinya saat merokok ingin dikurangi, apakah dapat juga dikurangi produksi rokoknya? Dengan demikian juga mengurangi tenaga kerja di sektor itu dan artinya akan berdampak pada pengangguran? Ini menjadi tidak sederhana,” ucap Kurniawan.
Di sisi lain, upaya menekan prevalensi merokok tetap harus didorong melalui edukasi mengenai produk alternatif yang lebih ringan risikonya, semisal tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik.
Menurut dia, produk tembakau alternatif tetap memanfaatkan sumber daya dari pertanian tembakau di mana produsen dalam negeri juga berperan sebagai eksportir. Selain itu, tembakau alternatif juga bisa menumbuhkan industri baru dan menjaga serapan tenaga kerja.
Selain itu, dalam 4th Scientific Summit on Tobacco Harm Reduction, Konstantinos Farsalinos dari University of West Attica Athena menyampaikan bahwa jumlah perokok global mencapai 1,14 miliar orang per 2019. Indonesia tercatat di urutan kedua sebagai negara berpenduduk lebih dari satu juta jiwa dengan prevalensi perokok pria tertinggi di dunia.
Tiga pertimbangan dalam menekan prevalensi perokok di Indonesia
Sabtu, 30 Oktober 2021 13:36 WIB