Pontianak (ANTARA) - Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) Provinsi Kalbar, Muhammad Munsif mengatakan bahwa kelembagaan pekebun memiliki peranan peting dalam hal tata niaga sawit agar tercipta kondisi yang kondusif.
"Kelembagaan pekebun inilah yang saat ini menjadi tantangan. Sebab saat ini tidak semua pekebun tergabung dalam lembaga berbadan hukum seperti koperasi. Hal ini yang terus kita dorong agar pekebun punya kelembagaan. Sebab yang bisa bermitra dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) adalah kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun,” ujarnya di Pontianak, Sabtu.
Untuk mendorong seluruh pekebun masuk dalam kelembagaan seperti koperasi atau kelompok pekebun, diperlukan peran yang besar dari pemerintah kabupaten yang mengeluarkan izin bagi perusahaan sawit.
"Perlu diketahui bahwa pekebun yang menjual TBS hasil produksi kepada atau produsen CPO wajib dilakukan melalui kelembagaan pekebun seperti koperasi atau kelompok tani pekebun yang sudah didaftarkan sistem informasi penyuluhan (Simultan). Nah, untuk itu peran bersama agar pekebun masuk dalam kelembagaan," jelasnya.
Ia menyampaikan perihal yang ada tersebut juga sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/KB.120/I/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Untuk di Kalbar, Permentan tersebut ditegaskan melalui Peraturan Gubernur Kalbar Nomor 63 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Indeks K dan Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun Kalbar. Namun dalam implementasinya masih ditemukan adanya ketidaksesuaian.
"Dalam aturan disebutkan bahwa pembelian TBS pekebun kelapa sawit dilakukan secara langsung oleh PKS melalui kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun, dan tidak dibenarkan di luar kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun, dengan mengikuti harga yang telah ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga TBS Kalbar," jelas dia.
Ia menegaskan dari sisi aturan yang ada saat ini menurutnya sudah cukup untuk mengatur tata niaga sawit khususnya di provinsi ini. Pemerintah saat ini hanya perlu memastikan bahwa aturan tersebut ditegakkan dengan benar.
“Memang tidak bisa langsung bisa ditegakkan aturannya, pasti memerlukan proses” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kabupaten Sekadau, Sandae mendorong pekebun untuk mengurus Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B). STD-B merupakan pendataan dan pendaftaran pekebun dengan luas kurang dari 25 hektare oleh pemerintah.
“Pentingnya STD-B itu selain untuk memudahkan menjadi mitra PKS, juga untuk mencapai proses akhir dari sertifikat RSPO, (Roundtable on Sustainable Palm Oil),” katanya.
Di Kabupaten Sekadau pun menargetkan seluruh lahan kebun swadaya mengantongi STD-B. Kendala yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan sumber daya manusia untuk melakukan pendataan tersebut. Saat ini total areal luas perkebunan kelapa sawit rakyat yang baru memiliki STD-B di Kabupaten Sekadau adalah 2000 hektare. Padahal menurutnya ada sekitar Rp50-60 ribu hektare luas kebun sawit petani swadaya.
“Permasalahan kami adalah terbatasnya SDM. Makanya kami kerja sama dengan NGO. Pengurusan STD-D tidak kenakan biaya alias gratis. Meski begitu, diakuinya masih ada pekebun yang enggan mengajukan STD-B. Alasan pekebun adalah karena mereka khawatir akan dijadikan objek pajak," jelasnya.