Jakarta (ANTARA) - Sedotan plastik, kopi kemasan, sampo sachet, bungkus detergen hingga gelas plastik sekali pakai adalah sampah yang dapat ditemukan sehari-hari bahkan di rumah kita sendiri.
Tahukah Anda bahwa sampah tersebut berdampak pada kelangsungan hidup di bumi dan kesehatan manusia?
Film dokumenter "Pulau Plastik" setidaknya dapat membangkitkan rasa peduli dan sebuah alarm terhadap bahaya penggunaan plastik sekali pakai. Dengan sangat jelas film ini memperlihatkan bahwa Indonesia sebagai penghasil sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah China.
"Pulau Plastik" disutradarai oleh Dandhy D. Laksono dan Rahung Nasution. Film ini menggabungkan jurnalisme investigasi dan budaya populer untuk menghadirkan pendekatan baru yang menyoroti tentang persoalan polusi sampah plastik yang masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia.
Tiga orang yang berjuang
Film ini akan membawa penonton mengikuti perjalanan vokalis band rock Navicula asal Bali, Gede Robi dan ahli biologi dan penjaga sungai asal Jawa Barat, Prigi Arisandi. Keduanya tergerak oleh masalah yang sama, yaitu polusi sampah plastik yang semakin mengkhawatirkan dan minimnya kebijakan untuk mengatasi krisis tersebut.
Robi dan Prigi pun berusaha mencari dan mengumpulkan bukti tentang sejauh mana masalah sampah plastik yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat. Mereka pun berkeliling Jawa, bertemu dengan pakar, aktivis hingga melakukan penelitian termasuk pada diri mereka sendiri.
Hal itu dilakukan atas dasar keingintahuan yang tinggi tentang dampak plastik terhadap lingkungan dan juga kesehatan masyarakat.
Robi dan Prigi kemudian bertemu dengan Tiza Mafira di Jakarta. Tiza adalah seorang pengacara muda yang mendedikasikan dirinya untuk melobi pejabat publik dan sektor swasta untuk mengubah kebijakan mereka tentang plastik sekali pakai.
Ketiganya kemudian berkumpul dalam sebuah aksi pawai Tolak Sampah Plastik Sekali Pakai pada 21 Juli 2019 yang berlangsung dari Bundaran HI hingga Monas, Jakarta.
Fakta mengejutkan
Film dokumenter ini bukan ditujukan kepada pemerintah melainkan untuk seluruh masyarakat yang punya andil besar dalam terbentuknya gunungan sampah yang ada di lautan lewat komsumsi harian seperti bungkus mie instan, sampo sachet, popok sekali pakai, gelas plastik dari kedai kopi, hingga pengbungkus camilan.
Robi dan Prigi memperlihatkan kepada penonton bahwa masalah sampah plastik sudah sangat darurat. Keduanya terjun langsung ke lapangan untuk memperlihatkan seberapa parahnya gunungan sampah plastik yang ada di Indonesia.
Penonton juga akan melihat bahwa salah satu daerah di Jawa Timur menjadi tempat pembuangan sampah dari Amerika dan Eropa. Sampah-sampah plastik dari toko-toko ternama yang berasal dari Kanada, Jerman dan negara lainnya dapat ditemukan pada satu truk sampah yang sengaja mereka pesan untuk membuktikannya.
Keduanya juga membeli ikan dan udang yang berasal dari salah satu tambak warga. Robi dan Prigi kemudian menemukan fakta yang cukup mengejutkan yakni terdapat mikro plastik di dalam tubuh ikan tersebut.
Robi dan Prigi lalu memulai sebuah penelitian yakni meneliti 100 feces manusia dan salah satunya adalah milik Robi. Hasil yang didapat pun tak kalah mengejutkan, terdapat mikro plastik dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini kemungkinan di dapat dari hidangan yang disantap oleh Robi salah satunya adalah ikan.
Sebagai alarm masyarakat
"Sampah Plastik" merupakan kombinasi dari ilmu pengetahuan, aktivisme jalanan dan seni. Film ini menjadi penting di saat alarm peringatan Darurat Sampah di Indonesia belum terdengar ke seluruh telinga masyarakat.
Sampah plastik yang dihasilkan ini didominasi oleh plastik yang sulit terurai, salah satunya sampah sedotan plastik yang jumlahnya bisa mencapai 93 juta setiap harinya.
Banyaknya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi penyebab utama terkontaminasinya lautan yang ada di Indonesia. Inilah saat di mana sampah terpecah menjadi mikroplastik, termakan dan masuk ke dalam tubuh biota laut hingga berakhir di hidangan piring masyarakat.
Kantong plastik yang terbuat dari singkong pun ternyata tidak terutai di dalam laut saat Robi mengujinya selama enam bulan. Plastik ini hanya mempercepat terjadinya mikro plastik yang akan masuk ke dalam tubuh makhluk laut dan nantinya berakhir pada tubuh manusia yang tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan.
"Saya sudah berusaha. Terkadang kita tidak perlu melakukan hal-hal besar. Tetapi kita bisa lakukan hal kecil dengan semangat dan cinta. Selama saya masih bisa bersuara, saya tidak akan berhenti berusaha," kata Robi dalam film "Pulau Plastik".
Film "Pulau Plastik" diharapkan dapat membuka mata masyarakat akan darurat sampah plastik yang dihadapi oleh Indonesia. Dengan menyaksikan film ini, setidaknya ada aksi kecil yang bisa dilakukan oleh penonton seperti mulai meninggalkan kantong plastik kresek, tidak menggunakan sedotan plastik, membawa tempat minum sendiri untuk menghindari botol plastik, membawa kantong belanja sendiri serta mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
"Pulau Plastik" dapat disaksikan di bioskop yang tersebar di beberapa kota, di antaranya Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bandung mulai 29 April hingga 8 Mei 2021.
"Pulau Plastik", alarm darurat sampah plastik
Sabtu, 1 Mei 2021 10:49 WIB