Pontianak (ANTARA) - Ahli Gizi dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Rahmania, S.Gz, M.P.H. menilai sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak untuk memutus rantai kekerdilan (stunting) di Kalbar karena daerah ini berada posisi tiga besar di Indonesia.
“Kalbar berada di urutan ketiga paling tinggi di Indonesia. Dari 10 anak ada sekitar 3 - 4 orang mengalami kekerdilan di Kalbar. Hal itu menandakan Kalbar cukup parah. Rantai dan perilaku yang menyebabkannya sudah saatnya kita putus,” ujarnya di Pontianak, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa kekerdilan adalah ketika anak di usia 0 – 5 tahun gagal tumbuh maksimal atau kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Anak mengalami kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
“Secara umum banyak faktor yang mempengaruhi stunting di antaranya pola asuh dari keluarga baik seputar makanan, menjaga kebersihan makanan dan rumah, sanitasi rumah. Kalau kebersihan buruk, rumah kotor dan lainnya juga sangat berpengaruh,” kata dia.
Kekerdilan sebenarnya bisa dicegah bahkan dimulai sejak orang tua menikah. Perencanaan kehamilan diperhatikan. Ketika ibu hamil pasokan gizi bayi dalam kandungan diperhatikan.
“Kemudian ketika lahir juga demikian, gizi dan kesehatan harus diperhatikan dengan pola asuh yang benar. Literasi para orang tua terhadap gizi dan pentingnya memaksimalkan 1.000 hari pertama kehidupan harus dimaksimalkan,” kata dia.
Dampak kekerdilan juga berpengaruh pada kualitas SDM. Gizi yang kurang dan pola asuh anak kurang maksimal tentu berdampak pada produktivitas dan kreativitas SDM yang ada.
“Tingkat kualitas SDM kita tentu sangat terganggu dengan adanya kekerdilan. Pemahaman dan pencegahan harus menjadi perhatian untuk mewujudkan generasi bangsa ke depan dengan baik,” kata dia.
Upaya pemerintah saat ini dinilai sudah cukup baik, termasuk melalui Posyandu. Hanya saja perlu dimaksimalkan dan masyarakat memanfaatkan program yang ada tersebut.
“Di lapangan kita juga periksa dan tanya kepada para ibu-ibu yang ditemukan bahwa mereka tidak menyimak apa yang disampaikan petugas kesehatan. Informasi atau pesan agar balita ini dan itu hanya lewat dan tidak diterapkan secara maksimal. Sehingga literasi akan pentingnya gizi dan pola asuh kepada anak tidak maksimal pula,” kata dia.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Ali Nasrun menyebutkan dari kacamata ekonomi bahwa kasus kekerdilan dengan tingkat kemiskinan dan pendapatan masyarakat tidak memiliki korelasi yang signifikan.
“Artinya tingkat kemiskinan dan pendapatan masyarakat dengan kasus kekerdilan tidak memiliki pengaruh yang besar, meskipun ada. Faktor lainnya seperti pola asuh orang tua dan kebersihannya perlu menjadi perhatian,” kata dia.
Menurutnya, dari data pendapatan per kapita tahun 2017 dan data kekerdilan 2015, di Indonesia yang pendapatan per kapita 13.120 dolar AS memiliki tingkat kekerdilan sebesar 36,4 persen.
Sedangkan negara yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia seperti Filipina yang pendapatan per kapitanya 8.780 dolar AS tingkat kekerdilannya lebih rendah yakni 30,3 persen.
Kemudian Negara Vietnam pendapatan per kapitanya 7.380 dolar AS di angka 19,4 persen. Myanmar dengan pendapatan per kapitanya 6.850 dolar AS di angka 35,1 persen dan Kamboja yang pendapatan per kapitanya 4.300 dolar AS di angka 32,4 persen.
Dengan demikian katanya keadaan ekonomi, khususnya kemiskinan tidak berpengaruh besar terhadap kekerdilan karena kondisi itu sangat berpengaruh kepada kualitas SDM, yang sebagai sumber daya akan sangat berpengaruh kepada pembangunan ekonomi dan bisnis.
“Apalagi kita dihadapkan dengan bonus demografi. Kalau kasus kekerdilan tinggi maka bonus yang ada tidak akan maksimal dinikmati karena kualitas SDM kita tidak maksimal. Sehubungan dengan perayaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke- 74 yang bertema SDM Unggul Indonesia Maju jika dikaitkan kekerdilan, ini harus menjadi perhatian kita,” kata dia.
Standar WHO
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan pemerintah terus berupaya agar angka anak kerdil terus menurun hingga memenuhi angka standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
"Siapa yang yang mau anak kita kerdil? Kita berharap pada riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun depan dapat angka itu (20 persen)," kata Menkes.
Dia menyatakan eradikasi kekerdilan penting untuk masa depan bangsa. "Bagaimana untuk mencapai human capital index kalau anak kita kerdil, tidak pandai, tidak akan hidup produktif dan sakit-sakitan," ujarnya.
Dia pun berharap, daerah-daerah bersemangat menurunkan angka ini,
Upaya pencegahan kasus kekerdilan dimulai dari hulunya di sekolah, seperti dilakukan di SMKN 1 Limboto Gorontalo sebagai sekolah percontohan untuk edukasi kesehatan dan pemberian tablet tambah darah.
Hal ini dilakukan agar kelak saat para siswa itu sudah dewasa dan berkeluarga bisa mencegah munculnya kelahiran bayi yang mengalami kekerdilan.
Nila melakukan kunjungan kerja ke Gorontalo melihat banyak inovasi tentang kesehatan yang dilakukan di provinsi itu.
Salah satu yang diapresiasinya adalah sosialisasi edukasi kesehatan mulai dari pemahaman tentang pentingnya sanitasi dan air bersih, pola hidup dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), pemenuhan gizi seimbang porsi Isi Piringku, pemberian tablet tambah darah pada remaja putri untuk pencegahan anemia, hingga pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang sudah tidak tabu lagi dibicarakan di sekolah.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 1 Limboto Saira Yusuf Djoli menerangkan sekolahnya bekerja sama dengan dinas kesehatan daerah, Puskesmas, dan rumah sakit dalam melakukan sosialisasi tentang kesehatan dan pemeriksaan kesehatan.
Edukasi kesehatan diberikan kepada siswa dalam masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) untuk siswa baru, dan setiap enam bulan sekali dengan mengundang pihak dinas kesehatan.
Salah satu siswa SMKN 1 Limboto, Andika Puluhulawa mengatakan, dirinya juga mendapatkan edukasi tentang kesehatan tersebut saat acara perkemahan pramuka. "Setiap siswa baru harus ikut perkemahan Bhakti Husada dan di perkemahan disosialisasikan," kata Andika.
Menkes Nila sangat mengapresiasi dan mendorong edukasi tentang kesehatan reproduksi agar terus diberikan kepada anak-anak remaja. Menurut dia, edukasi tentang kesehatan reproduksi harusnya sudah tidak tabu lagi dibicarakan pada remaja untuk pencegahan pergaulan bebas dan pengetahuan.*